Sep 1, 2010

"There Is No Ground Zero Mosque”: Belajar Dari Keith Olbermann

Saya tidak tahu apa di radio-radio di Indonesia saat ini masih ada acara semacam Tajuk Rencana atau Editorial –maklum sudah 10 tahun lebih tidak ikut perkembangan di tanah air. Tapi kalau memang masih ada, maka saya sarankan coba dengar salah satu episode acara Countdown yang dibawakan oleh jurnalis senior MSNBC Keith Olbermann bertopik “There Is No ‘Ground Zero Mosque’”.

Tajuk atau Editorial di radio adalah salah satu acara yang sangat berisiko ditinggalkan pendengar. Kenapa? Karena isinya melulu bicara dan bicara. Karena itu tantangannya adalah bagaimana menulis serta menyajikannya dengan menarik. Ingat! Ini radio! Lebih bagus lagi kalau apa yang disampaikan itu benar-benar tertanam ke benak pendengar.

Saya suka sekali episode Countdown tentang masjid di ground zero ini, sampai sering saya dengar berulang-ulang. Kerunutan cara bercerita serta gaya penyajiannya buat saya sangat bagus dan bisa jadi contoh menarik. Mari kita coba bedah episode ini.

Episode ini mengudara di tengah kontroversi rencana pembangunan masjid di dekat bekas runtuhnya menara kembar di New York. Tuan Olberman memulai dengan mengutip pernyataan terkenal Friedrich Gustav Emil Martin Niemöller. seorang pastor anti nazi. Ia dikenal sebagai salah satu penentang Hitler dan sempat ditahan selama 7 tahun namun selamat dari kamp konsentrasi Nazi yang mengerikan itu. Ini cuplikan kata-katanya yang terkenal itu, namun menurut Olberman tidak banyak yang mendalami artinya

“They came first for the Communists, and I didn’t speak up because I wasn’t a Communist.Then they came for the trade unionists, and I didn’t speak up because I wasn’t a trade unionist.Then they came for the Jews, and I didn’t speak up because I wasn’t a Jew. Then they came for me and by that time no one was left to speak up.”

Dari pembukannya saja acara ini sudah menarik. Bayangkan, mereka sampai terpikirkan untuk memulai topik tentang masjid di New York ini justru dari pernyataan seorang pastor di jaman Nazi. Menurut Olbermann, kata-kata Pastor Niemöller itu mengingatkan kita tentang betapa mudahnya sebuah masyarakat yang nampak rasional berubah menjadi jahat dan penuh kebencian yang digemakan oleh para politisi dan fanatis baik di dalam atau di luar pemerintah.

“Niemoller was not warning of the holocaust. He was warning of the thousand steps before a holocaust became inevitable.”

Di negara yang menjunjung kebebasan, kata Olbermann, apa yang di peringatkan oleh Pastor Niemoller ini kembali terjadi ketika orang ramai-ramai menyebut masjid yang akan dibangun di New York itu sebagai tempat pelatihan bagi para teroris dan ini merupakan penghinaan terhadap para korban tragedi menara kembar 11 September 2001.

Ia mengungkapkan fakta bahwa bangunan itu nantinya lebih dari sekedar masjid melainkan juga pusat kegiatan masyarakat yang dilengkapi lapangan basket dan sekolah kuliner. Tempat pelatihan bagi teroris di tengah New York? Berlebihan memang, tapi Olbermann kemudian mengkritiknya dengan gaya ‘lebay’ juga.

“What a cauldron of terrorism that will be. Terrorist chefs and terrorist point guards.”

Berulangkali Olbermann mengkritik para penentang pembangunan masjid itu dengan menyertakan berbagai fakta. Satu bagian yang sangat saya suka adalah ketika Olbermann mengungkapkan fakta betapa lokasi pembangunan masjid itu tidak berada di lokasi “Ground Zero” seperti yang selama ini dibesar-besarkan oleh media dan para penentang, melainkan 4 atau 5 blok dari bekas lokasi reruntuhan itu. Yang justru berada persis di dekat Ground Zero adalah salah satu gereja tertua di New York.

“People hear “Ground Zero Mosque” and they think Mecca in the backyard and a loud call to prayer and they take umbrage.”

Dengan gaya bicara yang tenang namun tegas, Olberman lantas mengingatkan kembali pemirsanya mengapa Amerika menyerang Irak. Alasan “resminya” adalah untuk membebaskan dunia –khususnya warga Irak- dari tirani seorang Saddam Husein. Tapi siapa yang tinggal di Irak, tanyanya?

“Well, who lives in Iraq? Muslims.”

Ya, penduduk di Irak itu muslim, meskipun masih ada orang di Amerika yang tidak sadar bahwa Syiah dan Sunni yang tinggal di Irak itu adalah muslim. Olbermanpun lantas menjelaskan betapa ironisnya ketika Amerika mengorbankan ribuan tentaranya untuk membantu warga muslim disana, namun tidak mengizinkan warga Muslim di Amerika sendiri untuk membangun sebuah sekolah kuliner dan tempat ibadah.

We sacrificed 4,415 of our military personnel in Iraq to save Muslims, and there are thousands still there tonight to protect Muslims, but we don’t want Muslims to open a combination culinary school and prayer space in Manhattan?

Amerika, lanjutnya, dibangun di atas perjuangan melawan prasangka, sikap tidak toleran antar umat beragama dan musuh terberat: kebodohan, yang di eksploitir oleh para politisi serakah. Ya kebodohan! Ia memakai kata-kata itu. Untuk memperkuat pernyataannya soal orang-orang bodoh itu, ia mengingatkan kembali bagaimana 50 tahun lalu banyak warga Amerika pernah menyebarkan informasi tentang bahayanya memilih seorang calon presiden di masa itu, dengan alasan karena ia adalah seorang penganut Katolik Roma, seorang yang patuh pada Paus di Vatikan dan berpotensi menjadi agen asing. Siapa calon presiden itu?

His name was John Fitzgerald Kennedy.

Sampai di bagian ini ekspresi Olbermann terkesan mulai emosional. Ia mengingatkan bahwa para teroris yang menghancurkan menara kembar itu ingin mengubah Amerika menjadi seperti kemauan mereka. Dan apa bedanya para pengecam pembangunan masjid itu dengan para teroris?

What better way could we honor the dead of the World Trade Center, than to do the terrorists’ heavy lifting for them?

Sebagai penutup, Olbermann menyampaikan sebuah fakta menarik yang tidak banyak orang tahu, yakni tentang “Masjid Manhattan”. Masjid ini di bangun pada awal tahun 1970, dan di akhir tahun itu pula beberapa blok dari masjid tersebut pembangunan Menara Kembar New York dimulai. Jadi di lokasi dekat “Ground Zero” itu sebenarnya pernah ada masjid juga, tapi tidak pernah ada yang protes. Masjid itu terus dapat menjalankan aktifitasnya tanpa kontroversi, tanpa ada insiden, aksi terorisme maupun protes. Karena apa? Dengan nada suara keras, dia bilang begini:

Because this is America, dammit!

Dammit! Ekspresi makian dalam bahasa sehari-hari itu diucapkan Olbermann dengan keras dan tegas. Dan menutup acaranya, ia pun kembali mengingatkan pada nilai-nilai luhur Amerika..

And in America, when somebody comes for your neighbor, or his bible, or his torah, or his Atheists’ Manifesto, or his Koran, you and I do what our fathers did, and our grandmothers did, and our founders did. You and I speak up! Good night, and good luck!

Keith Olbermann memang dikenal dengan gayanya yang tegas, tajam dan cerdas, dan menurut saya episodenya kali ini adalah salah satu yang paling menarik.

Hanya 12 menit lebih Olbermann menyampaikan tajuknya. Hanya 12 menit lebihyang hanya berisi omongan tanpa harus dibantu oleh efek-efek musik yang mencekam. Dan saya yakin, ucapannya itu masuk ke banyak benak orang. Buktinya, videonya itu menyebar luas dan diteruskan kemana-mana di facebook.

Jadi apa Radio anda sudah punya acara editorial atau tajuk? Mungkin waktunya mempertimbangkan punya acara semacam itu. Inilah acara yang walau singkat, tapi menegaskan sikap kita sebagai media, asal dikemas dengan baik.

Dari Olbermann rasanya kita bisa belajar bahwa sebuah editorial yang baik itu tidak melulu mengandalkan kata-kata rumit, njlimet, yang dibacakan dengan serius dengan suara diberat-beratkan dan membosankan. Ia bisa dikemas menjadi sebuah acara yang menarik juga.

Dari Olbermann saya belajar bahwa esensi dari sebuah acara editorial adalah gabungan antara hasil riset yang memadai, cara memadukan fakta, pola pemikiran dan penjabaran yang runut, ungkapan-ungkapan yang tepat pada tempatnya dan cara pembawaan yang menarik dengan intonasi, gaya bahasa dan penekanan yang pas pada kata-kata yang dianggap penting.

Sekali lagi, menurut saya episode ini adalah contoh yang menarik buat kita orang media, khususnya orang radio, di tengah kecenderungan media kita belakangan hari ini yang entah kenapa jadi bak tukang sate yang suka sekali mengipas-ngipaskan bara kontroversi minim esensi, semata agar “bara” itu terus menyala demi menjual apa yang disebut sebagai rating!

SUmber artikel menarik ini : suarane.org

No comments:

Post a Comment

Other Articles