Mar 29, 2010

Selamat Menempuh Hidup Baru

Tidak henti-hentinya hatiku terharu bahkan hamper menitikkan mata bahagia ketika melihat sepasang teman kami Sdr. Citrawan K.D. dan Sdri. Tresley yang telah melangsungkan akad pernikahan mereka kemarin (26 Maret 2010). Bertempat di rumah Bapak Temu Alam, salah satu staf KBRI Tripoli, suasana tampak sangat meriah. Meski memang sederhana dengan konsep desain dari teman-teman yang kebanyakan para mahasiswa, namun acara yang dimulai siang itu saya rasa sangat penuh makna, mengharukan dan tentu saja memberikan kebahagiaan pada semua orang.

Bercerita sedikit tentang mereka berdua yang kini sudah menjadi suami istri, Citrawan merupakan teman saya yang sangat akrab sejak saya pertama kali menghirup udara Libya. Dia berasal dari kota Palu, dan menjadi mahasiswa di Kulliyah Dakwah Islamyah (KDI Tripoli), setahun sebelum kedatangan saya. Dia sekarang sudah kuliah di tingkat akhir yang berarti sebentar lagi akan lulus S1.

Meski mungkin lebih muda umurnya dari saya, namun dia ternyata sudah cukup dewasa dan matang dalam berpikir. Yang menarik adalah kalau dilihat dari karirnya dalam organisai KKMI dimana untuk pertama kalinya dia sempat menjabat bagian kesejahteraan yang saya rasa banyak orang yang enggan dengan bagian ini (saya juga pernah merasakannya selama setahun). Berlanjut naik kemudian menjadi bagian HUMAS lalu Ketua Majlis Permusyawaratan Anggota (MPA KKMI) dan sekarang menjadi Presiden KKMI. Sebuah prestasi yang sangat membanggakan. Apalagi ketika tiba-tiba saja tanpa ada yang tahu dan seolah sedang bercanda dengan kami dia berkata: “saya mau nikah bulan depan !” otomatis waktu itu saya yang mendengarnya langsung bengong dan kalau boleh jujur, saya hamper tidak mempercayainya. Namun ternyata empat hari sebelum akad dia memang benar-benar akan menikah. Sebuah undangan pernikahan saya terima dari teman yang hamper empat tahun selalu bercanda dengan saya itu.

Sedangkan Saudari Tresley, dia adalah putri Palembang yang baru datang tahun 2008 kemarin dan sekarang kuliah tingkat II di KDI. Dia adalah orang yang paling beruntung karena sudah bisa membuat hati teman saya kepincut dan mendapatkan cintanya.

Melihat kondisi disini dan juga kondisi mereka masing-masing yang saya rasa tidak terlalu cukup memungkinkan untuk membangun sebuah keluarga baru, namun rasa cinta yang dibalut dengan niat yang kuat ternyata tidak membuat mereka berdua patah kepercayaan untuk menyatukan dua hati dalam satu ikatan suci suami istri. Mereka telah menunjukkan tidak ada hal yang tidak mungkin di dunia ini kalau memang benar-benar yakin dan berusaha. Mereka telah membuat keputusan dan benar-benar menorehkan sejarah bagi komunitas masyarakat Indonesia terutama para mahasiswanya disini. Mereka telah menunjukkan bahwa mereka mampu. Mereka telah memberi semangat, menaburkan haru dan kebahagiaan bagi semuanya pada hari itu.

Bagi kedua temanku Citra dan Tresley sebuah ucapan dan doa untuk kalian:

Selamat menempuh hidup baru. Semoga menjadi keluarga sakinah yang penuh mawaddah wa rahmah. Menjadi keluarga bahagia yang membuat iri orang lain dalam kebaikan. Semoga jalinan cinta kalian kekal dunia akhirat. Amien !

Lalu kapan saya nyusul??? Hehehe… tunggu aja !! J







Mar 27, 2010

Sang Centhi pun Berkata

Tadi malam aku sempatkan lagi untuk sedikit membaca sebuah novel, Centhini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin, karya Sunardian Wirodono (2009). Sejak membelinya, aku belum pernah membacanya sampai habis. Bahkan, dalam membacanya pun melompat-lompat tidak karuan. Bab yang satu belum habis sudah pindah ke bab berikutnya. Kadang juga sudah berada di halaman sekian, lalu balik lagi ke halaman sebelumnya. Jadi, entah kapan akan aku akan menyelesaikan membacanya, aku tidak tahu. Its OK.

Sekilas tentang novel ini, seperti kata penulisnya, diambil dari Suluk Tambangraras atau lebih dikenal dengan Serat Centhini jilid V, VI, dan VII yang telah dilatinkan tulisannya oleh Yayasan Centhini Indonesia. Serat ini ditulis tahun 1815 oleh tiga pujangga keraton Surakarta atas gagasan Sri Sultan Pakubuwana V, yaitu: Ki Ngabehi Ranggasutrasna, Raden Tumenggung Sastranegara, dan Ki Ngabehi Sastradipura. Serat ini ditulis dengan gaya bahasa sastra secara lugas dan terbuka sebagai sebuah ensiklopedi jawa yang tentu saja memuat berbagai macam hal dan kehidupan orang jawa. Dan buku yang saya baca ini merupakan versi novel dari ketiga bagian serat agung tersebut yang mengisahkan tentang 40 malam kehidupan Syekh Amongraga dan Tambangraras beserta Centhini (centhi= pembantu) dalam menjalani kehidupan rumah tangga mereka.

Well, kali ini setelah sebulanan lebih aku tidak meliriknya karena dipinjam oleh teman, aku tertarik untuk menyapanya lagi. Aku membuka bagian paling belakang yang merupakan ending dari novel tersebut. Aku disodori sebuah syair Jawa Kinanthi yang menjadi penutup dari kisah yang ada dalam novel ini. dengan penutup sebuah syair kinanthi, maka otakku sudah berpikir bahwa alur novel ini tentunya sad ending. Setelah membaca terjemahan dari syair tersebut aku makin tergelitik untuk membalik lagi beberapa halaman sebelumnya tepat di bab Malam ke-39. Dari sini aku menemukan bahwa novel ini memang sangat hebat. Sarat makna. Setelah membaca beberapa paragraf, timbul pertanyaan di otakku, apa mungkin sebuah serat yang ditulis pada abad ke-18 itu berbicara tentang wacana pembebasan perempuan (emansipasi wanita)?!

Entah aku tidak tahu bagaimana isi Serat Centhini itu yang sebenarnya. Yang kubaca saat ini adalah sebuah novel yang diakui diambil berdasarkan serat tersebut –tentunya sesuai penafsiran penulis novelnya. Dari dua bab terakhir itu aku mendapatkan wacana emansipasi yang luar biasa. Sebuah kritik terhadap perilaku laki-laki yang seenaknya saja terhadap perempuan. Sebuah pembongkaran ketidak adilan melalui pertanyaan-pertanyaan psikologis aneh yang sepertinya kurang atau bahkan tidak mendapatkan tempat di otak banyak laki-laki. Hmm, sebuah sindiran buatku juga, kayaknya. :D
Kenapa laki-laki maunya ber-poligami? Kenapa tidak memikirkan perasaan yang dipoligami? Kenapa suami seenaknya saja pergi setelah mendapatkan semua yang dipunyai isterinya? Apa satu tidak cukup? Kenapa, kenapa, dan kenapa, itulah yang menjadi rangkaian pertanyaan dalam bab-bab terakhir novel tersebut.

Dalam novel tersebut memang tidak ditulis jawaban-jawaban bagi berbagai pertanyaan di atas sebagaimana tidak ada ayat-ayat agama tentang poligami untuk menentukan titik polemiknya. Tapi, lebih pada sentuhan psikologis melalui dialog-dialog tokoh terutama celotehan dari sang Centhini. Dan ini memang lebih asyik dari pada harus berebutan tafsir dari beberapa ayat Tuhan. Aku pun berpikir kenapa kalau bicara poligami sepertinya secara otomatis harus meminjam ayat-ayat Tuhan. Kenapa aku tidak mencoba berpikir praktis dan sederhana tentang perasaan yang dipoligami untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan yang tak ada habisnya ini?!

Ya, mungkin karena masalah poligami telah ada dalam nash-nash agama sekaligus ketetapan hukumnya, maka otomatis orang akan mencari tempat pembenaran paling mujarap bagi masalah ini. dan kebenaran mana lagi yang paling tinggi dan diakui mutlak selain kebenaran agama?!

Agama (terutama Islam dalam keyakinanku) memang menurusi segala hal. Tidak hanya masalah hubungan antara makhluk dengan Penciptanya saja melainkan juga dengan sesama makhluk, termasuk masalah poligami. Namun, menurutku agama ini luwes, tidak kaku. Ia berjalan seiring waktu dan tempat. Banyak hokum-hukum partikularnya yang tidak harus dilaksanakan secara tekstual. Di sana ada banyak pilihan agar tidak terjadi bentrok dengan kenyataan hidup. Seperti itu pula hukum poligami, menurutku. Sekalipun di sana ada nash shorih (jelas) yang memperbolehkan poligami, namun tidak boleh mentang-mentang menggunakannya untuk membenarkan semua poligami. Apalagi sekarang seolah orang yang berpoligami ternyata hanya untuk menguber keperawanan alias hanya mengumbar nafsu.

Ketika aku masih bingung dengan banyaknya alasan untuk memperbolehkan poligami terutama alasan bahwa perempuan memang harus mengabdi dan tunduk pada suami, maka aku seolah menemukan jawabannya dalam pertanyaan sang Centhi:
“Terus, suami mengabdi pada siapa? Pada isterinya? Pada dirinya? Atau, pada perempuan yang lain lagi?”

Dan bagaimana pandangan anda, tentu setiap otak punya pikiran masing-masing. Hehehe…

Mar 24, 2010

Puisi-puisiku di Lamongan

PAGI

Menyemburat makin mengkilat di ujung timur jagat mengucap, pagi
ikhlas berniat merindu shalat bersambung merdu ayat menyambut pagi
lalu,
melangkah cepat tak b0leh telat menghambur semua tempat ramaikan pagi
raih nikmat k0barkan semangat jangan terasa penat demi sebuah rizki pagi
ya,
itulah nikmat dalam perjuangkan amanat hidup yang singkat melalui pagi
sebelum malaikat datang menyalam sekarat tiada mungkin tawar debat mencabut pagi
dan,
sesal t0bat tak lagi beri setitik manfaat, saat tuhan di hadap bertanya:
untuk apa pagi?


=======================
SOBAT

Sobat... sobat...
Kemana kamu ini?
mau pergi? kemana?
Duniamu disini. kenapa berlari?
Apa sudah bosan?!
Atau kamu mau cari pngalaman?!
Hah, alasan !!
kamu takut pada dirimu sendiri
kamu lupa pada dirimu sendiri
kamu telah hilang diri
kamu tak tau diri
semua temanmu... apa yang kau pikirkan tentang mereka??
Membiarkan hancur?
kamu baru sedetik kenal dunia luar,
tapi kamu sudah berubah layaknya singa lapar
Apa yang kamu dapatkan dari luar sana?
Begitu silaukah di luar sana, hingga yang di dalam hanya kegelapan??
Tak kusangka...
Kami berharap kamu belajar, bukan menjadi liar..
Kami berharap kamu mengajar, bukan menghajar
kamu mengobrak-abrik nilaimu sndri
kamu tuding-tuding kebijaksanaan temanmu sendiri
kamu porak porandakan cita temanmu sendiri
cuma karena sedetik pengalaman yang tak kamu dapat disini..
Apa ini tidak gila?
Kamuingin pergi, tinggalkan semua
kamu ingin suci, tanpa kami yang kamu pandang penuh daki
kamu ingin suatu yang baru
yang sama seperti seleramu
kamu biarkan kami hancur sendiri untuk kamu kuasai nanti
ah, beginikah dirimu kini?
Harus mengasing dari kami?
Harus berpisah tanpa hati?
Lalu untuk apa??
Kemana moral yang kamu elukan itu?
kemana etika ilmumu itu?
kemana jiwa nalarmu itu?
kemana dirimu?
Harusnya, dulu tak usah pergi
Atau kemarin tak usah kembali...


=============================
STASIUN KERETA LAMONGAN

Dari balik kusamnya kaca pintu kereta
telihat tiang2 dan tembok2 mulai bergerak
orang2 yg lalu lalang mulai hilang
bising di luar berganti di dalam
lalu aku terdiam
saksikan di belakang, stasiun lamongan kutinggalkan

dari balik kusamnya kaca pintu kereta
hatiku berderap penuh harap
dan pikirku berdansa dengan tanya
bilakah ku kembali nanti?!
Melepas rindu pada tanahku
yg baru sejengkal aku tinggal
tuk merangkai puisi dr sbuah indah mimpi

dari balik kusamnya kaca pintu kereta
kulantunkan sebuah doa
moga tanahku tak pernah kulupa

Mar 15, 2010

Yuk Menulis !

Welcome to Dunia Tulisan

Banyak sesuatu telah dan akan terjadi di sekitar kita. Dari hal yang paling kecil dan sederhana sampai yang paling rumit dan njelimet yang membuat dahi selalu mengkerut. Dari hal yang berkaitan dengan bangun tidur sampai hal kenegaraan dan impian yang tidak karuan. Semua ini sebenarnya adalah modal utama bagi kita. Lalu kenapa kita membiarkan semuanya berlalu tanpa jejak dan tanpa direkam agar bisa memberi manfaat bagi kita semua?! Kenapa kita tidak menuliskannya?!

Menulis adalah salah satu usaha untuk merekam kehidupan. Tidak usah membayangkan bahwa pekerjaan menulis adalah punya para penulis handal. Pekerjaan menulis adalah milik siapa saja termasuk kita yang sama sekali tidak pernah dikenal publik. Bukankah kita biasa membaca setiap hari, tapi kenapa tidak dituangkan semua input pikiran kita tadi menjadi output yang bermanfaat, yaitu tulisan?! Jangan biarkan otak hanya menerima pemasukan tapi tanpa pengeluaran.

Mungkin berbagai alasan sering terdengar –atau bahkan kita sendiri yang mengatakannya- mengapa seseorang tidak mau menulis. Alasan tidak tahu mau menulis apa, hasil menulis saya jelek, sampai persepsi bahwa menulis adalah bakat, semua itu adalah alasan yang dibuat-buat.

Sebenarnya, yang paling penting adalah punya niat dan kemauan yang kuat untuk menulis. Tidak ada yang tidak bisa dikerjakan kecuali karena memang seseorang lebih suka bermalas-malas. Ingatkah cerita bahwa banyak dari ulama dan ilmuan meninggal sedang dalam keadaan menulis?! Mereka semua tidak kenal berbagai alasan tadi. Jadi, mencoba, berusaha dan berlatih adalah kunci untuk bisa menulis.

Mengapa Menulis?

Publish or perish (publikasikan atau minggirlah). Sebuah pameo yang sangat popular di berbagai universitas Paman Sam yang mengilustrasikan bahwa seorang pelajar seharusnya akrab dengan dunia tulis-menulis.

Menulis sebenarnya adalah cara kita mengungkapkan rasa, emosi dan pikiran terhadap suatu hal. Tanpa menuliskannya berarti membiarkan diri kita hilang tanpa jejak. Mengutip sabda Nabi “ikatlah bacaanmu dengan tulisan!!” adalah juga merupakan sebuah isyarat bahwa untuk membuat diri kita tetap hidup, kita harus menulis. Kata Pramoedya, “bila umurmu tak sepanjang umur dunia, maka sambunglah dengan tulisan.”

Disamping sebagai cara mengungkapkan emosi dan pikiran, aktifitas menulis adalah cara memperjuangkan idealisme, mencari materi finansial, popularitas atau gabungan dari semuanya disamping berbagai manfaat lainnya.

Apa yang harus ditulis?

Pertanyaan mendasar yang seringkali ditanyakan oleh para pemula adalah apa yang seharusnya ditulis. Sebagian besar pemula biasanya akan terbentur dalam pencarian ide ataupun tema yang akan digarapnya. Namun seperti diungkapkan di awal tulisan, banyak sesuatu yang ada di sekitar kita dan itu adalah modal untuk sebuah tulisan. Kita sedang bingung mau menulis apa, kenapa kebingungan tersebut tidak dicurahkan saja ke dalam tulisan populer?! Atau dompet kita sedang tipis, kenapa tidak diceritakan bagaimana rasanya tidak punya uang melalui sebuah cerpen? Atau sedang dilanda asmara, bukankah lebih romantis kalau dituang ke dalam puisi? Atau kita punya ide dan pandangan tentang suatu masalah yang lain di sekitar kita, kenapa tidak diurai saja pikiran kita dalam rangkaian huruf-huruf yang bisa dibaca orang lain??

Namun, merujuk nasehat para senior, sebaiknya kita menulis hal yang menjadi kesenangan atau memang sudah menjadi bidang garapan demi kualitas karya. Hal ini tentu karena seseorang sudah tau sedikit banyak tentang point-point masalah yang digelutinya. Seorang sastrawan tentu akan lebih bagus ketika menulis karya sastra dari pada tentang fisika. Maka, sebaiknya kita tidak menulis apa yang tidak atau belum kita ketahui terlalu banyak, kecuali kalau memang mau bekerja ekstra.

Siapa yang akan membaca?

Tentu siapa saja dari berbagai kalangan asalkan dia bisa membaca. Tua-muda, orang awam, ilmuan, semua adalah pangsa yang bisa dibidik bagi sebuah tulisan. Jika kita punya setumpuk puisi, share saja ke teman-teman atau komunitas kita. Biarkan mereka menilai serta berkomentar atas karya kita tersebut. Tidak usah malu untuk menunjukkan apa yang kita bisa –biar sejelek apapun karya tersebut- karena dari proses sharing ini nantinya kita akan tahu kelebihan dan kekurangan dari suatu karya yang dihasilkan. Tidak masuk akal kan kalau kita punya banyak karya tapi hanya tersimpan di rak untuk diri kita sendiri? Hehehe… mending tidak usah ditulis.

Tapi kita juga harus memperhatikan kualitas tulisan kalau ingin menuai banyak pembaca. Dan itu bisa diraih dengan berlatih. Kita juga harus bisa menentukan gaya bahasa serta genre tulisan sesuai target yang akan kita bidik. Tidak mungkin menulis cerita anak-anak dengan gaya bahasa filosof yang muter-muter bukan?? Atau target kita adalah pelajar agama tapi yang ditulis tentang resep masakan. Lah… !!

Kapan dan dimana?

Menulis sebenarnya tidak terikat ruang dan waktu. Kita bisa menulis kapan dan dimana-pun saat punya hasrat untuk menulis. Tidak usah menunggu setahun lagi kalau sudah punya laptop. Mulailah menulis sekarang selagi bisa. Saat sarapan di kantin kita bisa mencoret-coretkan perasaan kita di atas kertas sambil menyeruput kopi hangat. Saat menonton film di kamar, kita bisa catat apa yang ada dalam film tersebut. Atau bisa juga saat membaca tulisan ini langsung mengambil pena dan kertas untuk mengomentarinya. Hasil coret mencoret tadi memang biasanya masih berupa bahan mentah atau setengah jadi untuk kita kembangkan lagi setelahnya.

Dalam proses pengembangan material yang sudah ada, kita dituntut untuk bisa meluangkan waktu khusus menulis. Jangan kita lewatkan sehari-pun tanpa menulis. Dalam beberapa buku tutorial menulis, disebutkan bahwa para penulis biasanya mempunyai waktu khusus yaitu saat tengah malam setelah tidur karena saat itu pikiran sedang segar yang membantu konsentrasi menulis. Tapi, sebenarnya kapan waktu yang baik adalah tergantung keadaan kita sendiri untuk menyesuaikannya dengan kesibukan yang ada. Yang pasti dalam sehari kita harus punya waktu khusus untuk mengasah bakat menulis tersebut. So, writing is wherever, whenever !!

Bagaimana?

Untuk menjawab pertanyaan yang satu ini kita tidak akan meringkas dalam beberapa paragraf seperti beberapa pertanyaan sebelumnya. Karena How adalah menunjukkan proses serta cara yang pastinya meliputi banyak hal dalam satu tema. Bagaimana tulisan yang baik, bagaimana bentuk tulisan ilmiah, bagaimana menulis fiksi, bagaimana ejaan sesuai EYD, bagaimana agar bisa menembus penerbit dan bagaimana seterusnya, merupakan berbagai pertanyaan yang melingkupi pertanyaan How yang tidak mungkin dibahas sambil lalu dan itu butuh tempat khusus.

Nah, karenanya, untuk How nanti kita lanjutkan di lain kesempatan dan mulailah menulis sekarang juga karena cara pasti untuk bisa menjadi penulis adalah MENULIS !!

Mar 13, 2010

Sore Itu

Di ufuk barat matahari telah memerah, mengguratkan suatu keindahan di sudut-sudut langit yang terlihat seakan menyatu dengan bumi. Menebarkan suatu kehangatan di hamparan pasir yang diselingi beberapa pohon dan rumah penduduk. Sementara angin gurun berhembus lembut, suaranya membisikkan pada alam suatu keheningan, mengantarkan senja sore ini bersama awan kelabu yang merayap beriringan.

Di pojok luar kamarku aku duduk sendiri, sambil bertopang dagu Kubiarkan mataku menyusuri, keagungan pesona seni ini; seni yang tak akan bisa ditiru, oleh mahluk sepertiku. Aku tak tau apa yang sedang aku pikirkan, pikiranku terlanjur menerawang jauh, mengikuti kemana angin berlalu.

Senja sore ini memang sangat indah, hingga pikirku "tak mungkin kumelewatkannya". Bagiku, Seakan ia seorang dewi yang turun menemani kesendirianku, membelaiku, dan menawan hatiku. Dan masih kuperhatikan gerak alamNya, hingga diriku semakin lebur didalamnya. Tak habis pikir dan tanya, buat apa Tuhan menciptakan ini semua.

"andai kau disini".

tiba-tiba terbersit namanya dalam hati. Burung-burung yang terbang pulang ke tempat mereka belajar mulai mengepakkan sayap-sayapnya, menyeretku kembali pada suatu yang mencoba untuk kusingkirkan, membuka memori lamaku, tentang seseorang:
"Dya, apa kau masih ingat aku?"

sungguh, hatiku luruh setiap kali teringat namanya. Mataku meradang merah, menahan perasaan yang meluap di pelupuknya. tapi, semuanya telah terjadi dan berlalu, dan memaksaku harus pergi jauh, hingga dia yang disana tak bisa untuk kusentuh.

Teringat saat aku tanpa sengaja bertemu, di pinggir sebuah pantai karang berbatu. Kutanya nama dan siapa dirinya. Sampai akhirnya datang embun pagi yang membuka pintu hati. Sebuah bisikan yang ingin menjadikannya bunga yang selalu mekar, semerbak wanginya di tengah gurun yang telah tersiram oleh air cinta. Hinga suatu hari, timbul rasa ingin mengungkapkan getaran-getaran yang sering menyesakkan dada. Getaraa-getaran yang menghampiriku sejak beberpa bulan yang lalu. Ya setelah perkenalan itu. Sungguh tak bisa untuk ku mengelak , apalagi membunuh lalu menguburnya. Getaran-getaran itu datang begitu saja, membayangi hari-hariku, dan merasuk dalam relung jiwa lalu bersatu dengan diriku.

Memang benar apa yang dikatakan orang cinta itu indah, yang bisa membuat orang gila karna keindahannya. Memberikan surga dengan para bidadari dan dayangnya. Melambungkan khayalan tertinggi menembus batas-batas dunia seperti seorang pecandu yang kehilangan akalnya.

Dan Memang kini aku seperti oarng gila, bahkan mungkin benar-benar gila, entah kemana akalku?!.

"he, lo nglamun aja." kuingat saat itu tiba-tiba temenku menegur dari belakang, membuatku kaget.

" ah, enggak ngapa-ngapa kok" kujawab enteng seolah memang tidak ada yang kupikirkan.

"mikirin dia ya, udah bilang aja lah…" lanjutnya sambil berlalu di hadapanku.

***

Tak terasa waktu terus berputar, detik berganti menit, jam dan hari pun bersaing menyusul, satu minggu telah lewat begitu saja. Aku tak ingat apa-apa. Aku yang saat itu sedang berada di kampong hanya mondar-mandir tanpa tau apa yang harus dikerjakan. Aku pusing, mungkin karena sudah cukup lama mengenal enaknya sesuatu yang bernama JAKARTA, lalu kini harus diam di rumah. Tak ada kerja, teman juga entah kemana, ditambah lagi dengan udara musim panas yang semakin menggila. Memang sih, beberapa hari terahir ini, langit berhias mendung, awan hitam menggulung-gulung, tapi tak terlihat tanda akan turunnya hujan yan diharapkan. Seakan alam sedang bermain-main dengan manusia.

Kusaksikan para petani yang telah lelah menunggu tetesan kehidupan mereka dari langit, terdengar hanya menggerutu dan pasrah pada nasib. Tapi selalu saja mereka katakan penuh pengharapan "semoga saja hujan turun", hingga entah karena apa, tiba-tiba Tuhan pun menyuruh sang Malaikat untuk menurunkan butir-butir bening kesejukan dari langit, meski sangkaku itu hanya cukup untuk membersihkan udara yang telah penuh dengan debu kemarau.

Tapi yang kusangka ternyata salah. Mungkin langit sedang bersuka hati, menyaksikan kami memanjatkan beribu terima kasih, pada Tuhannya yang juga Tuhan kami. maka gerimis pun terasa masih enggan untuk berhenti, bahkan setelah kelompok-kelompok hewan malam mulai berhamburan mencari makan, menggantikan saudara-saudaranya yang harus pulang. Sementara aku selesai sholat maghrib, temanku di Jakarta memberi kabar kalo keberangkatan ke libya sepuluh hari lagi.

"waduh, mati aku. Belum siap-siap lagi" gumamku kaget.

Ya tiga bulan lalu aku memnag mendaftar dan alhamdulillah bisa mendapat kesempatan untuk melanjutkan studiku di negeri hijau ini. Tapi meski begitu, toh tak urung kabar yang mendadak ini membuatku deg-degan juga.

Sebenarnya sebelum maghrib tadi aku akan menelpon dia, aku ingin dia tau isi hatiku, tak peduli apakah dia memang satu hati atau malah nantinya akan bertepuk sebelah tangan cintaku ini. Semuanya telah kurancang, mulai kalimat apa yang harus kuungkapkan, intonasi suara, sampai kemungkinan jawaban yang akan dia berikan. Tapi Ahh... semua itu kini berantakan. Rancangan tinggal rancangan, yang mengendap dalam lapisan otak dan perasaan, seperti nasib tanah yang kini sedang terbawa aliran air hujan. Oh, Tuhan....

Kembali ku teringat dia, kuarahkan mataku pada selembar foto yang ada diatas meja kecil dari kayu jati yang ada dalam kamarku. Wajahnya meski tidak secantik para bintang di televisi, namun ia bagai bulan purnama yang bersinar melewati dinding-dinding kegelapan malam. Ia terlihat begitu ayu dengan jilbab birunya. Matanya yang bening mampu menundukkan tatapan2 mata liar yang ingin menerkamnya. Senyumnya yang lembut nan anggun berkuasa mendamaikan jiwa2 yang mudah terpesona oleh nafsu yang meraja.

Kutarik nafas dalm-dalam, mencoba membuang sesak yang mulai bergemuruh dalam jiwa. Lalu kuhembuskan pelan-pelan, kurasakan hawa yang mengalir dari paruku melewati tenggorokan dan rongga mulut, menyeret keluar sebagian beban yang menyumbat katub nafasku.

Jendela kamar yang kubiarkan terbuka, membawa belaian-belaian angin yang sejuk. Udara dalam kamar yang biasanya selalu bikin gerah itu kini digantikan dinginnya gerimis yang dari sore tak kunjung reda. Suaranya berpadu dengan gemericik air yang jatuh dari atas genting. Mengesankan aku yang sedari tadi dengan pikiran kosong berdiri dekat jendela.

"Mengapa tak kau telpon saja dia!!" Pikirku.

"dan ungkapkan perasaanmu".

"ah, itu tidak mungkin".

Lagi-lagi aku bingung sendiri. Merasa ragu untuk mengatakannya atau tidak. Setelah menerima kabar tadi, aku semakin bimbang. Bagaimana mungkin aku kan mengatakannya, sedang tak lama lagi aku akan meninggalannya. Bayangan jarak yang jauh dan waktu yang lama seakan menjelma menjadi tembok yang menghalangi mulutku untuk berteriak, membuka suara. Kalaupun nanti dia menyambut uluran hatiku, aku pun tak kuasa untuk membuatnya menderita, hanya sekedar menunggu.

"tapi apa kau pernah berpikir, bagaimana kalau seandainya ia juga suka kamu?! dan selama ini ia telah tersiksa dengan kebisuanmu?!". tanyaku pada diri sendiri.

Aku merasa sebagai seorang pengecut, yang telah kalah sebelum berlaga. Aku hanya mampu meratapi ketidakberdayaanku ini, tanpa mampu tuk kepalkan tangan. mungkinkah Aku egois, yang tidak mau tau perasaannya?. atau Aku terlalu phobia, Takut dengan kenyataan?

Dan malampun semakin merangkak naik. Tapi gerimis masih saja menemani kebisuanku.

****

"Assalamualaikum." suaraku terdengar agak pelan.

"waalaikum salam"

"eh, kakak, kapan datang di Jakarta?" tanyanya kaget sambil diiringi senyum manis. Ku lihat sinar kegembiraan terpancar dari wajahnya yang agak kecapean.

"baru kemaren. maaf ya nggak telpon dulu," kataku sekedar basa-basi.

"kok kayaknya capek gitu?!" tanyaku.

"iya, habis bantu ibu," bilangnya.

Kemudian, sambil mempersilahkanku duduk ia lalu menuju kedalam.

Rumah yang sangat nyaman itu, sepertinya tidak sebanding dengan ukurannya yang menurutku sedehana dan biasa saja. Lantainya yang hanya tertutupi semen selalu bersih dan ramah menyambut setiap kaki yang menginjaknnya. Cahaya yang cukup dan udara yang selalu terganti melalu jendela menghilangkan kepenatanku walau sejenak. Rumahku surgaku. Kata-kata yang tepat untuk istana ini.

Sesaat kemudian Dya membawa keluar segelas air putih, disusul ibunya dari belakang meski saat itu hanya sekedar menyapa. menurutku Ibu Dya sangatlah ramah, meskipun baru dua kali ini aku berkunjung kerumahnnya. Yang pertama saat aku akan pulang kampung dulu. Sebenarnya tujuanku datang kerumahnya, disamping silaturrahim, juga ingin bicara dengan seseorang yang telah beberapa bulan menggelisahkan jiwa. Membuat hari-hariku indah dengan kebingungan yang kupendam. Aku ingin dia tau bahwa namanya kini telah terpatri dalam hati. Aku mau dia tau semuanya, meski mungkin nanti harus menelan pahitnya empedu, atau petir akan menyambarku. setelah ngobrol beberapa saat hatiku mulai bergejolak.

"ayo, bicaralah!!" bisikan hatiku merongrongku, membuatku gemetar ragu.

"eee. …. Dya, besok lusa aku akan pergi. Aku akan berangkat ke Libya." suaraku terputus-putus. Dadaku bergetar hebat. Aliran darahku mengalir cepat.

"Ah, bodohnya aku. bukan itu yang ingin kukatakan." Kukatai diriku sendiri dalam hati. seribu makian serasa tak cukup mengganti ketololanku ini.

terlihat wajahnya agak berubah. entahlah, aku tak tau pasti sebabnya. tapi, aku kira aku salah bicara. mungkin aku telah menyisipkan suatu kekecewaan di hatinya.

"ah, aku benar-benar menyesal. bodohnya aku !!".

"kak, apa bener mau pergi?!" pertanyaannya terasa berat. sementara itu aku terdiam, sulit rasanya untuk menjawabnya.

"ya, insyaAllah. do'ain saja biar semuanya baik-baik saja".

"ya, semoga".

kami terdiam. matanya terlihat agak melebam pucat lalu setitik embun menetes melewati pipinya.

"dya, maafin aku ya." sambil kuulurkan selembar tissue berharap ia mengerti semuanya. sesaat kemudian ia lalu kutinggalkan sendirian, tak ada hadiah untuk kenangan, tak ada harapan yang kujanjikan. semuanya kupendam, tak tahu apa yang harus kulakukan. hanya doa dan sebuah buku catatan kugenggamkan di tangannya yang memberanikanku ucapkan perpisahan.

"dya, maafin aku...." lirih hati mengiringi langkahku.

Hari Sabtu malam, aku berangkat bersama teman-teman yang lain, membawa selembar harapan dan segenggam impian baru, meski aku masih terbayangi oleh coretan-coretan kemarin yang buram. Mungkinkah dengan perpisahan ini aku bisa melupakannya?!

****

kini aku telah berada di negeri yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, tak terkira perasaanku, hingga kutulis nyeleneh "rasanya nano-nano". tapi, apakah aku telah benar-benar siap menjalani hidupku di sini, hidup yang tak hanya sekedar makan tidur dan berleha-leha dengan impian yang muluk-muluk. hidup yang mengharuskanku mengucurkan keringat bahkan darah. "perubahan" bukankah ini tujuanku kesini?!.

dan hari-hari itu pun telah berlalu bahkan telah genap setahun. sementara itu, sampai saat ini ternyata aku belum bisa melupakannya. dan tanpa sadar, ternyata waktu berputar cepat meninggalkanku dibelakang. sering aku hanya terdiam memandang keluar kamar saat senja mulai menghantarkan matahari sembunyai diujung barat sana. dan saat itulah, tiap sore kusaksikan sang waktu terbang melambaikan tangannya seraya mengucapkan selamat tinggal padaku.

saat sadar, kupanggil ia untuk kembali, tapi lidahku telah kaku. pita suaraku terbakar oleh ribuan teriakan tak tentu. habis sudah semuanya. yang tersisa hanyalah kekuatan sekedar tuk bersandar menyaksikan rona merah langit yang indah. menemaniku merajut kenangan dan harapan yang hanya ada dalam khayalku. Dan ketika sampai hari ini, masih saja sore itu melambaikan tangannya, tapi seakan bukan hendak meninggalkanku, namun mengajakku bangun dan berkata "kejarlah aku !”.

dan kurasa sore itu begitu indah.

Mar 5, 2010

Episode-episode Cinta

TUK DIA YG DI SANA

Seraut wajah tergambar samar
Elok meski dalam bayangan
Mengajak hati tuk berlayar
Mencari hidup dalam permainan

Sekilas suaranya menyapaku
Terdengar merdu dalam angan
Bercerita tentang romantika bisu
Menyentak hasrat ego tuk buktikan

Dia… Meski tak pernah kujumpa
Terima kasihku selamanya
Untuk Sebuah rasa
Dia… Meski kurasa mungkin ku gila
Biarlah angin berkata
Tentang sebuah cinta

Tak tau mengapa indah slalu menggoda
Nikmati derita dari sebuah kerinduan
Ajakku sedetik pejamkan mata
Lanjutkan kisah sebuah kenangan

Dia… Meski tak pernah kujumpa
Terima kasihku selamanya
Untuk Sebuah rasa
Dia… Meski kurasa mungkin ku gila
Biarlah angin berkata
Tentang sebuah cinta

----------------------------
DETIK GALAU

Setitik embun menggantung di pucuk daun
Berkilau mentari memancar bahagia
Haruskah ku goyang dahannya
Meski aku tahu semua kan berakhir
Saat panas mentari terlahir?!


-------------------------------------------------------
SEMOGA GELISAHKU BERAKHIR DENGANMU

Semoga gelisahku berakhir denganmu
Saat kau tak pikirkan aku lagi
Saat kau biarkan aku sendiri
Kembali menapaki liku pencarian
Dan kaupun tak lagi kecewa
Denganku yang begini adanya
Yang bahkan janjipun
Tak pernah sanggup terucapkan
Hanya sebuah harap
Agar aku bisa mengenangmu
mengingatmu dalam doa-doa
obati kerinduanku
hingga takdir kita bertemu.

Semoga gelisahku berakhir denganmu

Other Articles