May 27, 2010

Hapus Permanen Akun Facebook

Beberapa kali saya ditanya sama teman bagaimana cara menghapus akun Facebook (FB), terutama sejak masalah keamanan privacy yang sempat booming gara-gara berita ratusan ribu akun FB dijual oleh seorang hecker. katanya "masuk FB itu mudah tapi keluarnya susah". Dari teman-teman sendiri, alasannya bermacam-macam, ada yang karena sudah bosan, akunnya di bobol orang lain, ingin ganti akun baru, sampai cuma gara-gara iseng saja. :D

Kalau saya sendiri, saya punya dua akun FB. satu fake untuk main-main dan satunya aseli untuk silaturahim. Selain dua ini, sebenarnya dulu saya juga punya satu lagi tapi sudah saya delete.

nah, perlu diketahui bahwa untuk menghapus akun FB ada dua pilihan, satu lebih cocok disebut penghapusan sementara (deactive/nonaktif) dan hapus permanen (delete permanently). untuk deactive caranya gampang.

1. login ke FB.

2. Klik Account/Akun di kanan atas jendela Facebook dan pilih Account Settings/pengaturan akun.

3. Kemudian muncul jendela baru (my Account-Setting) dan di bagian bawah, pilih Deactivate Account/ Nonaktifkan Akun - klik deactive/tutup.

4. Pilih salah satu alasan Anda mengapa ingin menghapus akun.

5. klik /confirmkonfirmasi dan masukkan password FB kamu.

6. Kalau kamu sudah menemukan pesan: “Your facebook account has been deactivated” dari tim Facebook maka akun kamu berhasil dihapus.

Nah, ini cuma untuk deactive atau penghapusan sementara, dan suatu saat, kamu masih bisa log in lagi ke akun kamu tersebut. lalu, kalau kamu ingin MENGHAPUS PERMANEN ikuti cara yang ini ( yang sabar ya, soalnya rada ribet ):

1. hapus semua teman kamu dengan cara mengklik tanda “x” lalu memilih “remove friend”.

2. hapus semua foto di halaman album. Caranya, masuk ke halaman foto, lalu pilih album dan pilih “delete this album”.

3. hapus semua komentar yang kamu kirim, dengan cara masuk ke halaman profile lalu pilih tanda “x” dan pilih “delete” di setiap kotak wall dan komentar kamu

4. hapus keanggotaan dari groups, fan, dan supporter di halaman INFO. Caranya dengan mengunjungi group yang kau ikuti lalu pilih “remove” atau “leave “.

5. Hapus semua info tentang kamu. Pilih “info” edit.

6. Remove semua tag yang ada di halaman foto dan catatan kamu.

* POKOKNYA INTI DARI NO. 1-6 ADALAH MENGHAPUS SEMUA INFORMASI DAN KONTEN YANG TERKAIT DENGAN AKUN KAMU (ribet kan??!!) :p

7. Kirim email permintaan penghapusan akun ke:
https://ssl.facebook.com/help/contact.php?show_form=delete_account



Klik Submit/Kirim.

8. Masukkan password FB dan verifikasi kata yang muncul.



9. Setelah terkonfirmasi, facebook akan memberitahukan bahwa kalau Kamu tidak login selama 14 hari, maka akun kamu tersebut akan terhapus dan tidak bisa direcovery alias dihapus permanen.



10. Facebook akan log out otomatis.

11. setelah 14 hari, coba kamu periksa akun kamu dengan login lagi ke FB yang tersebut. kalu tidak bisa masuk berarti FB kamu sudah benar-benar dihapus. SELAMAT. God Bye FB !!

* catatan: kalau belum berubah, sesuai Statement of Rights and Responsibilities atau yang biasa disebut ToS (Term of Service), pihak FB mengklaim punya hak atas semua konten yang di-up load penggunanya, seperti foto, video, catatan, dst. jadi, meskipun pengguna sudah menghapus konten mereka, FB masih punya hak untuk menyimpan salinan bahkan menggunakannya untuk kepentingan mereka. Makanya, kamu sebaiknya tidak meng-up load atau memposting rahasia-rahasia penting yang selayaknya tidak usah diketahui orang lain.

May 22, 2010

Menampilkan Script Sebagai Teks Biasa

sebenarnya saya juga bingung cara membuat script atau kode yang ingin kita kutib dalam postingan blog. karena biasanya kalau kita mengutip suatu script atau kode baik HTML atau java script maka kode tersebut tidak muncul dalam postingan kita alias tidak terbaca sebagai teks. kalau nggak gitu pasti muncul sesuatu yang aneh-aneh dalam konten postingan tersebut.
namun jangan khawatir ini ada cara mudah untuk melakukan itu. ada aplikasi online yang dengan mudah meng-generate kode atau script menjadi seolah teks bisa sehingga bisa terbaca seolah teks-teks yang lain. langsung saja kamu bisa masuk di sini



nanti kamu tinggal masukkan teks kode script yang kamu inginkan terus klik encode untuk merubahnya menjadi teks yang bisa muncul dalam postingan kamu. untuk melihat kembali script tadi dalam bentuk aslinya klik decode.

May 17, 2010

Beragama: Apa Harus Satu?

Di sebuah milist, ada sebuah postingan menarik tentang bagian paling mendasar dalam keberagamaan kita. Meski sebenarnya isi postingan ini lebih cenderung seperti curhat, namun saya tertarik dengan beberapa pertanyaan yang diajukan oleh teman pemosting tersebut.

Pertama sekali adalah apakah dalam beragama diwajibkan untuk memilih satu agama saja ataukah boleh memilih beberapa bahkan semua dari sekian banyak agama ataupun kepercayaan yang ada?!!

Dalam realitas kehidupan, memang tidak bisa dipungkiri bahwa banyak sekali sesuatu yang bisa kita sebut sebagai ‘agama’ ataupun ‘kepercayaan’. Secara logika dari sudut pandangnya tertentu memang tidak bisa dibatasi apakah seseorang akan memilih satu agama/kepercayaan untuk dirinya sendiri atau lebih, atau bahkan tidak beragama sama sekali. Berarti itu adalah hak perogratif kita sebagai mahluk bebas. Namun, sebagai mahluk yang berakal, kita juga dituntut untuk kritis dalam pilihan kita itu karena hal tersebut tentunya mengandung implikasi yang menyeluruh dalam kehidupan kita nantinya.

Saya sendiri, walaupun sampai saat ini hanya mengimani satu agama saja, namun saya tidak mau memaksakan sikap saya ini kepada yang lain, karena beragama tidak bisa dipaksa. Beragama atau tidak adalah pilihan nurani kita semua. Bahkan Tuhan-pun –dalam keimanan saya- tidak pernah memaksa seseorang untuk mempercayainya. Dia membiarkan kita untuk menentukannya sendiri. Sehingga wajib atau tidaknya memilih satu agama juga relative, tergantung kita sendiri. Mengapa demikian?? Karena mungkin Ini disebabkan oleh watak dari agama atau kepercayaan itu sendiri yang lebih bersifat sebagai ‘perasaan personal’ (personal senses) dalam mengimani sesuatu yang transendal. Dan kerelatifitasan ini adalah sangat wajar sekali ketika kita melihat dan membandingkan agama atau kepercayaan satu sama lain dalam frame humanisme, meskipun di sana sini akan tetap ada perbedaan kadar.

Namun berbeda dengan yang pertama tadi, ketika kita menarik agama-agama ke dalam lingkaran teologis yang berhubungan dengan doktrin-doktrin suci dan menjadi basis keimanan masing-masing agama, maka bisa dipastikan kita akan menemukan perbedaan itu lebih mencolok dan vulgar. Dan di wilayah inilah logika harus benar-benar kritis dalam mencari kebenaran. Apalagi perbedaan-perbedaan tersebut bukan hanya sebatas perbedaan pembawa agama (nabi dan rosul) atau aturan-aturan keagamaan (syari’ah) tapi lebih kepada adanya perbedaan tentang dari mana agama tersebut berasal atau lebih tepatnya ‘perbedaan tentang Tuhan’. Sehingga mau tidak mau kita harus memberi sikap khusus dengan memilih satu agama saja. Tidak mungkin kita sholat untuk yesus atau kebaktian di gereja dengan membaca kitab Wedha kan?!

Dalam setiap agama mempunyai system ritual yang berbeda. Begitu juga dengan doktrin-doktrin keagamaannya. Ini adalah hak paten dari setiap agama yang menjadi cirri formal serta kode etik yang tidak bisa ditukar satu sama lain. Artinya dengan melihat sisi formal tersebut kita sudah tidak bisa untuk bebas memilih lebih dari satu agama meskipun kita memberontak menginginkannya. Kode etik tersebut tidak memperbolehkan kita untuk mencampur-adukkan agama-agama. Sehingga dalam beragama kita diwajibkan untuk konsisten dengan satu agama atau murtad ke agama lain. Lalu apa intinya, wajib atau tidak?!

Di sini saya tidak mengatakan memilih satu agama itu wajib apa tidak, tapi saya hanya mengajak nalar dan kesadaran kita untuk merenung sebentar tentang watak-watak agama di atas. Ketika kita telah mengetahui bahwa di sana memang dengan pasti ada perbedaan-perbedaan yang mana itu tidak bisa diabaikan begitu saja -kalau tidak bisa dikatakan ‘tidak bisa disamakan’- maka logis juga jika kita memperhatikan perbedaan tersebut sehingga logika akan menemukan kebenaran dari sudut pandang lain dan tidak akan terjatuh pada kesalahan akibat mempercayai kebenaran semu.

Mungkin saya terlihat cenderung eksklusif seolah mencoba memenangkan sebuah truth claim dalam membahas sikap keberagamaan kita. Namun itu tidak mengapa bagi saya, karena secara logika, beragama memang bukan seperti permainan undian acak. Maksud saya adalah saya berharap dengan menitik beratkan pada perbedaan mendasar dari berbagai agama tadi, saya kira kita akan bisa lebih bijak dalam menjawab pertanyaan pertama tadi dan dengan kesadaran penuh kita bisa menjawabnya sendiri dengan nurani kita.

Jadi, setelah memperhatikan perbedaan tadi, saya menjawab bahwa secara formal-teologis, logika juga mewajibkan kita untuk sebisa mungkin memilih salah satu dari sekian banyak agama atau kepercayaan dengan alasan perbedaan system ritual dan persepsi tentang Tuhan yang tidak sama. Namun demikian secara substansial-humanis kita juga bisa mencampurkan (baca: menyerap) persamaan dari berbagai agama tersebut tentunya dalam aspek kemanusiaannya. Dan di sinilah mungkin letak dari apa yang disebut ‘kebenaran agama-agama’ untuk kita amini bersama.

Lalu agama mana yang harus kita pilih?? hemmm…. Sebelum kita memilih agama ‘yang mana’, sebaiknya kita tanya dulu ‘mengapa harus beragama?!!’

May 16, 2010

Islam dan Budaya: Realitas Indonesia


Mengamati perkembangan Indonesia semenjak dibukanya kran reformasi hingga kini, wacana yang berkembang sangat pesat adalah adanya berbagai usaha untuk menyeret agama ke ruang publik secara kasar yang sedikit banyak melibatkan kekuasaan negara sebagai alat untuk memaksakan suatu pemahaman ‘agama’ tertentu. Hal ini tentu kurang sehat dalam kehhidupan bernegara karena hampir dipastikan akan menuai konflik yang membawa pada perpecahan bangsa. Beberapa aksi brutal kelompok masyarakat atas nama agama, terorisme, hingga usaha formalisasi syari’at tertentu yang telah diberlakukan di beberapa daerah menguatkan wacana tersebut hingga seolah Indonesia sedang menjadi medan pertarungan agama-agama yang ada.

Menarik sekali ketika membicarakan Islam dan pergumulannya dengan budaya Indonesia dari segi hukum Islam itu sendiri. Ini tak lain karena adanya semacam kesalah-pahaman dalam menerapkan hukum Islam tersebut dalam tataran negara. Gerakan fundamentalisme –meski sebenarnya istilah ini masih problematic- yang mengusung syari’at sebagai hukum positif kenegaraan seolah salah sasaran karena melenceng dari tujuan dan obyek hukum itu sendiri. Dengan demikian, syari’at yang diperjuangkan pun mengambang tidak jelas yang berimplikasi pada disintegrasi bangsa.

Kalau kita amati, kesalahah pahaman tersebut sebenarnya merupakan akibat dari ketergesahan dalam memahami syari’at Islam itu sendiri. Syari’at sering diidentikkan dengn fikih, dan fikih kemudian disempitkan lagi ke dalam pehaman yang formalistik yang kaku. Dalam Nuansa FIkih Sosial, Sahal Mahfuhz mengkritik pemahaman semacam ini karena akan mengakibatkan hukum menjadi tidak searah dengan kehidupan praktis sehari-hari.

Dalam praksisnya, pemahaman akan syari’at Islam ternyata memang seperti apa yang diwanti-wanti oleh kyai Sahal tadi. Bahkan mungkin terlihat lebih jauh dengan adanya kecenderungan mengedepankan konstruksi syari’at Islam dalam wajah Arab sambil menafikan realitas ke-Indonesia-an. Padahal Islam bukanlah identik dengan Arab sebagaimana Indonesia bukanlah Arab secara sosio-kultural dan politisnya. Sebenarnya tidak ada yang salah bila menggunakan kebudayaan Arab dalam mengekspresikan keberagamaan seseorang. Tetapi yang menjadi masalah adalah penggunaan asumsi bahwa warna tersebut merupakan bentuk keberagamaan tunggal yang dianggap paling absah. Hal tersebut tentunya berimbas pada keadaan dimana ekspresi Arab menjadi dominan, bahkan menghegemoni budaya dan tradisi yang berkembang di masyarakat lokal. Hal yang lebih menggelisahkan lagi adalah munculnya justifikasi-justifikasi seperti belum kaffah (sempurna), sesat, bid’ah atau musyrik kepada orang-orang yang tidak menggunakan ekspresi tersebut. Soal penggunaan jilbab misalnya, sebagian orang yang berjilbab memandang bahwa perempuan yang belum menggunakan jilbab atau jilbabnya berbeda dengan jilbab yang biasa dipakai di Arab berarti Islamnya belum kaffah. Demikian juga terkait dengan musafahah (berjabat tangan) antara laki-laki dan perempuan yang dianggap tidak sesuai dengan syari’at Islam. Padahal ini merupakan bagian budaya yang berkembang di masyarakat.

Fenomena tersebut merupakan bagian dari berbagai macam fenomena yang menggambarkan adanya konflik dan ketegangan antara hukum Islam dan budaya. Muncul satu hal yang menjadi persoalan, yaitu apakah budaya yang berkembang dalam masyarakat harus tunduk dalam ekspresi hukum Islam dalam corak Arab seperti di atas, ataukah hukum Islam yang selama ini kita pahami bisa dikreasikan melalui proses adaptasi dengan budaya yang hidup di masyarakat?

****

Berbicara mengenai hukum Islam akan kita temukan apa yang dinamakan syari’at dan fikih. Menurut Hasbi as-shiddiqi, yang dikutib oleh Nuruzzaman Shiddiqi dalam bukunya Fikih Indonesia, Kedua istilah tersebut adalah berbeda meski mempunyai hubungan yang sangat erat hingga kadang terasa sangat sulit untuk membedakan antara keduanya, apalagi melepaskannya satu sama lain. Syari’at adalah kumpulan perintah dan larangan yang disampaikan Allah melalui Rasul-Nya. Sedangkan fikih, adalah kumpulan hukum praktis yang diambil dari dalil-dalil terperinci dan jelas (sumber hukum). Oleh karenanya fikih lebih bersifat ijtihadi yang meniscayakan keberagaman pendapat.

Adapun budaya, sebagaimana dijelaskan oleh Koentjaraningrat, seringkali disebut untuk menunjuk kepada pikiran, karya dan hasil karya manusia. Senada dengan hal tersebut Peter L. Berger mendefinisikan budaya sebagai totalitas produk-produk manusia, baik material maupun bukan. Kaitannya dengan hukum Islam, produk-produk manusia ini dalam khazanah Islam lebih merujuk pada apa yang dinamakan dengan ‘urf atau ‘adah.

Sampai sekarang, mungkin masih banyak paradigma yang mengatakan bahwa Islam datang dengan risalah baru terutama dalam aspek syari’ahnya, yang konsekuensinya adalah menggantikan risalah sebelumnya. Dalam paradigma tersebut juga, maka kebudayaan yang ada sebelumnya, termasuk kebudayaan Arab pra-Islam adalah otomatis tergantikan. Kalaupun ada kesamaan dalam artian jika risalah tersebut memakai budaya tertentu, itu karena Allah melalui wahyunya memang mensyari’atkannya dan bukan karena adanya keterpengaruhan risalah dengan budaya tersebut. Paradigma ini tentunya sangat problematik karena akan menempatkan Islam beserta sumber hukumnya dan budaya secara berhadap-hadapan, disamping ketika Islam tersebut keluar dari geo-kultural tempat ia berasal, tentu di satu sisi secara tidak langsung akan melegalkan budaya lokal tertentu (baca: Arab) sebagai bagian dari agama dan di sisi lain mengeliminasi budaya lokal lain karena tidak ada ketetapannya dalam wahyu. Dalam tataran praksisnya, hal inilah yang cenderung terjadi, misalnya ketika seorang mencukur jengotnya, maka seolah dia telah menyalahi sunah Rasul, atau seputar tahlilan yang sebenarnya pengIslaman budaya hindu, hingga masalah kerudung yang berbeda dengan apa yang ada di Arab. Semua budaya ini secara sepihak dianggap telah menyalahi hukum Islam.

Memang harus diakui pula bahwa tidak semua budaya adalah baik dan cocok dengan prinsip-prinsip Islam. Namun tidak bisa dinafikan pula ketika kita mengkaji masalah ini, kita akan mendapatkan adanya pengaruh budaya terhadap perkembangan hukum Islam itu sendiri. Dan ini merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Seperti dijelaskan Majid Khadduri dalam Perang dan Damai dalam Islam, Nabi juga banyak menciptakan –tentunya dengan persetuaan wahyu- aturan-aturan yang melegalkan hukum adat masyarakat Arab. Bahkan dalam urusan syari’at pun –meski dikatakan dalam Al-Qur’an bahwa tiap-tiap umat punya syariat yang sesuai kondisi mereka- kita bisa mendapatkan bahwa Islam masih memakai syari’at Rasul-Rasul terdahulu (syar’u man qablana), seperti sholat, puasa, dan haji meski ada beberapa penyesuaian di sana-sini. Dan kalau kita mau meluaskan contoh maka akan semakin kita dapati fakta bahwa Islam juga mempertimbangkan faktor budaya dalam melahirkan suatu hukum. Lalu apakah kita akan menghukumi bahwa produk-produk hukum tersebut sebenarnya tidaklah sesuai Islam itu sendiri atau menuduh para ulama dalam mengkaji hukum telah menyelewengkan agama ini?? Tentu bukan sikap yang bijak jika sekonyong-konyong kita tumpahkan tuduhan tidak berdasar ini.

Islam adalah rahmatan lil alamin dan cocok di setiap masa dan tempat. Islam bukanlah milik orang Arab hanya karena ia lahir di sana. Oleh karenanya pengidentifikasian Islam dengan Arab akibat adanya wahyu yang secara lahirnya terkonteks Arab, harus dikembalikan pada prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Dan untuk itu refleksi historis atas hukum Islam semenjak awal perkembangannya harus terus diupayakan dalam rangka mendapatkan intisari (maqashid) dari adanya suatu hukum. Dari sinilah, akan bisa dirumuskan suatu hukum yang “ramah lingkungan” yang tidak hanya sesuai prinsip ajaran-ajaran Islam tapi lebih jauh, juga sesuai dengan kesadaran hukum yang sudah tertanam dalam masayrakat itu sendiri disamping akan meminimalisir terjadinya polemik dalam penerapannya.

Dalam kasus Indonesia, setidaknya ada dua pemikiran yang menarik dalam rangka mencari format hukum ideal seperti di atas, yaitu gagasan “Fikih Indonesia” oleh Hasbi As-shiddiqi serta “Pribumisasi Islam” oleh Abdurrahman Wahid. Keduanya hampir sama tujuannya, yaitu agar hukum yang dibuat bisa searah dengan ajaran Islam tanpa harus mengebiri tradisi atau budaya lokal yang ada. Keduanya juga hampir mempunyai pandangan yang sama tentang hukum Islam dimana seakan kedua gagasan ini meletakkan Islam dan budaya dalam posisi dialogis, bukan saling menundukkan. Egalitarisme Islam menjadi suatu keniscayaan yang memberikan konsekuensi bahwa semua tradisi dan budaya adalah sama dan dalam batas-batas tertentu dapat dijadikan sumber hukum, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Dengan demikian produk hokum akan bisa menghidupkan budaya itu sendiri beriringan dengan Islam sekaligus menafikan hegemonitas budaya Arab yang selama ini dipandang paling absah menjadi bagian tradisi Islam.

Dari kedua gagasan itu pula kita bisa mendapat paradigma dalam proses pembentukan hukun Islam yang khas Indonesia, yaitu: pertama, kontekstual. Yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang terkaitan dengan dimensi tempat dan zaman. Kalau mau memakai bahasanya Ulil Absar Abdallah dalam artikel kontroversialnya, maka Islam harus dipahami sebagai “organisme” yang hidup. Kontekstualitas ini seperti dikatakan Habsi, meniscayakan factor perubahan zaman dan tempat dalam melakukan penafsiran atau ijtihad hukum.

Kedua, adalah menghargai tradisi lokal. Karakter ini dibangun dari kenyataan bahwa Islam tidak dapat dilepaskan dari tradisi masayrakat pra-Islam. Bahkan dalam faktanya Islam telah mengadopsi tradisi-tradisi lokal yang telah berkembang dalam masyarakat Arab. Dengan demikian Islam tidak menempatkan tradisi lokal kedalam posisi obyek yang harus ditaklukan, tapi Islam meletakkannya dalam posisi dialogis.

Menurut Kyai Sahal, Sistematika dan perangkat penalaran yang dimiliki fiqih sebenarnya rnemungkinkannya dikembangkan secara kontekstual, sehingga tidak akan ketinggalan perkembangan sosial yang ada. Berbagai konsep yang ada dalam ushul fikih juga bisa dikembangkan demi mendapatkan produk hukum ideal yang bukan hanya sesuai dengan prinsip ajaran Islam namun juga bisa sesuai dengan realitas yang ada. Lalu kenapa yang masih selalu muncul adalah pergesekan antara Islam dengan budaya??

Untuk pertanyaan terakhir ini menurut saya, permasalahannya adalah berpulang pada diri kita sendiri selaku muslim Indonesia. Secara psikologis kita telah lebih dahulu tertelan budaya konsumtif yang sebenarnya juga kita benci sendiri dengan hanya mengandalkan produk fikih dari orang lain dari pada bersusah memakai mesin produksinya untuk disesuaikan dengan kebutuhan kita. Kita lebih suka menjadi konsumen produk instan dari pada bersusah payah menjadi produsen yang harus berkutat berpikir dan mengkonsep suatu produk hukum yang berkepribadian Indonesia. Disinilah kelemahan kita yang sudah menjadi kewajiban untuk merubahnya mulai sekarang. Dan tentu saja, kalau bukan para ulama dan pemikir kita, siapa lagi yang akan memulainya?!!. Wallahu a’lam bis showab.


Daftar Pustaka:
1. Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, 1974.
2. Berger, Peter L. Langit Suci Agama Sebagai Realitas Sosial, terj. Hartono, Jakarta: LP3ES, 1994.
3. Shiddiqi, Nourouzzaman. Fiqih Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1997.
4. Mahfudz, K.H Muhammad Sahal. Nuansa Fikih Sosial, Yogyakarta: LKiS dan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 1994.
5. Abdalla, Ulil Abshar. Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, Kompas, 18 November, 2002.
6. Ash-Shiddiqi, Hasbi. Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman, Jakarta: Bulan Bintang, 1966.
7. Wahid, Abdurrahman. Pribumisasi Islam dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (ed.), Islam Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M, 1989.
8. Khadduri, Majid. Perang dan Damai Dalam Hukum Islam, terj. Kuswanto, Yogyakarta: Tarawang Press, 2002.

Tiga Langkah Mudah Membuat Blog di Blogger.com


Bagi kita yang ingin membuat sebuah blog di blogger.com, domain ini telah menyediakan tiga langkah mudah dan instant dalam pembuatannya yaitu melaui Create a blog in 3 easy step.
1. Create an account (mendaftarkan diri)
2. Name your Blog (memberikan nama blog, misalnya blogku, iblog, dsb)
3. Choose a template ( memilih template atau tampilan grafis yang telah disediakan oleh blogger). OK, mari kita mulai langkah pertama.

1.masuk dulu ke: Blogger . setelah keluar halaman pertama, kita bisa langsung mengklik button berwarna oranye yang bertuliskan Create Your Blog Now dan selanjutnya kita akan masuk ke langkah pertama. Yaitu create an account.

Disini kita diminta untuk memilih atau mengisi form yang diminta Blogger.com yaitu:
- username alias e-mail kita di lajur e-mail address
- password (sebaiknya yang mudah kita ingat) di lajur enter a password
- masukkan kembali password kita di lajur reenter password
- pilihlah nama blog yang ingin kita tampilkandi lajur display name.
- tulis ulang huruf yang yang ada di lajur word verification (sesuaikan antara huruf kecil dan capital).
- check kotak kecil di lajur acceptance of terms kemudian klik continue.



2.setelah tahapan pertama selesai, kita lanjutkan dengan menamai blog kita, yaitu: name your blog.
- tulis nama atau judul blog yang kita inginkan (sebaiknya menarik dan gampang diingat) di lajur title blog. Misalnya: my blog, diaryku, blog lucu, dsb.
- pilih alamat blog kita (URL) di lajur blog addres, yang menarik dan mudah diingat juga. Misalnya: myblog.blogspot.com, diaryku.blogspot.com dll… ingat jangan memberi spasi pada nama alamata ini. Kalau nama yang kita pilih telah ada yang memakainya, kita akan diberi peringatan dan nama tersebut harus diganti yang lain. Atau klik availability addres name untuk mengetahui hal ini.
- dibawahnya ada link advanced blog bagi yang punya hosting sendiri, jadi tanpa embel-embel blogspot.com. tapi kalau kita ingin memakai hosting gratisan blogger, abaikan saja link ini dan langsung klik ikon continue.



3.memilih pola /tampilan desain grafis blog kita atau choose a template merupakan tahapan terakhir dalam membuat sebuah blog. Di blogger.com telah disediakan beberapa template gratis yang sudah cukup menarik dan variatif. Kita tinggal memilih sesuai selera dan bisa kita ganti atau mengubahnya sewaktu-waktu. Kita juga bisa mendapatkan template yang lain di http://www.blogger.template.com.



4.Setelah selesai semuanya, klik continue dan akan muncul tulisan your blog hass been created. OK, selamat!!. Kamu sudah punya sebuah blog. dan sudah bisa dipakai. Jika kamu ingin segera posting atau memakainya klik start posting. Dan kalau kita sudah masuk ke blog kita, kita bisa menulis posting, mengubah setting tampilan, password, bahasa pengantar, profile dst. Nah… gampang kan?!

May 14, 2010

Tuhan, Haruskah Kupenggal Temanku Sekarang?

Tanpa terlalu jauh melihat pada perbedaan yang ada, agama saat ini tengah dilanda krisis yang terlampau berat untuk dipecahkan. Agama seolah telah melahirkan berbagai persoalan kemanusiaan yang seharusnya bisa diselesaikan dengan keberadaannya tersebut. Sebuah paradoks, memang. Kemiskinan, diskriminasi hak, intoleransi, hingga berbagai perang atas nama tuhan dan agama tetap saja dilakukan meski sebenarnya kita telah tahu bahwa tidak ada untungnya semua itu. Yang ada hanyalah kebencian, dendam, kematian dan kehancuran diri sndri. Bahkan kalau dipikir lagi bisa menodai agama itu sendiri yang sejatinya mengajarkan perdamaian, toleransi, pembebasan dan penghargaan kepada hidup.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam setiap agama saya rasa disana ia juga punya daya dan legitimasi bagi pemeluknya untuk melakukan semacam tindakan yang sepertinya bertentangan dengan jiwa perdamaian. Namun, apa yg ada sekarang ini, seolah sudah banyak yang keluar dari batas-batas kewajarannya. Dan ini saya rasa adalah hasil dari kesalah pahaman dalam memahami ke-beragama-an itu sendri. Agama telah mengajarkan perdamaian, saling mengh0rmati orang yang berbeda pendapat dan keyakinan, serta menyuruh untuk mencari kebenaran melalui dialog yang bijaksna dan tanpa paksaan. Namun semua nilai dan ajaran agama yang positif tersebut seolah tidak pernah ada atau memang sengaja ditutupi hanya karena adanya beberapa ayat suci lainnya yang mengisyaratkan pada penggunaan kekerasan dalam membela agama dan tuhan. Ayat-ayat suci tersebut dibaca dengan dibarengi pra-k0nklusi yang salah yang terlebih dahulu sudah menjadi keyakinan disamping mungkin karena adanya motif-motif pribadi untuk menyingkirkan yang lain. Berangkat dari pemahaman ke-beragama-an seperti ini, agama telah berubah menjadi penyebab utama dari dehumanisasi yang sedang berlangsung.

Jika kaum marxian dan golongan atheis dulu mengatakan bahwa kita beragama karena merasa lemah dan tidak percaya diri dengan kemampuan kita dalamm menjalani hidup yang mana itu mengharuskan kita untuk meminta perlindungan pada kekuatan di luar kita (tuhan), maka sekarang ini kita beragama seolah untuk menyenangkan tuhan dengan pembantaian-pembantaian lalu menyodorkan nyawa-nyawa yang Dia ciptakan sendri sebagai persembahan bahwa kita adalah pembelaNya.

sebagai mahluk berakal, rasanya sangat sulit untuk membenarkan pemahaman beragama seperti itu karena seolah tuhan sedang benar-benar bermain dengan ide gilanya dengan menciptakan manusia lalu menyuruhnya saling bertarung. Kemudian untuk setiap potongan kepala, tuhan tertawa puas dengan permainannya itu.

Apa memang tidak ada lagi tujuan beragama selain membuat tuhan tertawa seperti itu? Apa tuhan tidak memerintahkan kita melalui agama agar saling mencinta? Membangun dunia? Berdialog dalam mencari kbenaran? Apa tuhan tidak suka kalau manusia menyembah-Nya karena kesadarannya sendiri? Menyembah tanpa paksaan? Menyembah karena cinta? Atau lakum dinukum wa liya diin...??

Kalau memang agama hanya untuk perang, aku ingin bertanya pada tuhan: haruskah ku penggal temanku untuk-MU sekarang??

May 11, 2010

Aktualisasi Pemahaman Ibadah


Segala sesuatu yang baik yang kita niatkan ibadah kepada Allah akan bernilai ibadah pula. Begitulah pemahaman kita akan makna ibadah. Begitu pentingnya suatu arti ibadah sampai-sampai hampir semua ulama menulis berjilid buku tentang ibadah. Ibadah memang terlalu luas untuk bisa ditulis dalam beberapa buku; apalagi ditulis hanya dalam beberapa paragraph yang sangat ringkas ini. Namun disini akan kita coba untuk mengambilnya dari satu sisi saja yang mana satu sisi ini sangatlah penting sekali bagi ibadah itu sendiri yaitu, pemahaman kita akan makna ibadah.

Islam dengan ke-universalitasan-nya telah memadukan antara dua aspek yang mempunyai daerahnya sendiri-sendiri. Aspek religius yang menyangkut hubungan vertical antara mahluk dengan Tuhannya dan aspek duniawi antara mahluk dengan sesamanya. Islam telah menggabungkan keduanya dengan mengikatnya dalam satu frame yang disebut ibadah. Dalam frame ini, Hubungan antara keduanya telah melahirkan satu garis tegak lurus yang menghilangkan perbedaan antara aspek religius dan aspek duniawi. Sehingga, hubungan apapun antar sesame mahluk juga tidak lain adalah hubungan antara mahluk dengan Tuhannya karena dari Dia-lah semua mahluk ada. Namun tentunya tidak semua hubungan tersebut bisa dikatakan ibadah. Hanya hubungan yang baik dengan niat ikhlas-lah yang akan bernilai ibadah.

Ibadah bisa dibagi menjadi dua macam, yakni ibadah yang bermanfaat untak pribadi (individual/syakhshiyah) dan untuk orang lain atau masyarakat (sosial/ijtima'iyah). Sebelum meningkatkan amaliah ibadah, seseorang perlu meningkatkan keimanan dan kepercayaan akan wujud Allah dengan segala perintah dan laranganNya, kepercayaan akan adanya pahala serta keyakinan akan manfaat dan faedah dari amaliah ibadah. Sholat, puasa, membaca Al-qur'an dan zikir, hanyalah beberapa contoh dari ibadah individual yang berlabel agama murni. Dan tentu diluar itu semua masih sangatlah banyak macam-macamnya yang lain. bekerja, belajar, saling menghormati, saling menolong, membangun jalan, rumah sakit, hingga makan dan senyum-pun bisa dikategorikan sebagai ibadah jika diniatkan ikhlas pada Allah. dan ini semua bisa dikategorikan kedalam ibadah.

Meskipun ada indikasi yang mencolok bahwa Islam semakin mendapat tempat di kalangan masyarakat, semakin bertambanya jumlah pemeluknya, pembangunan masjid dan musholla, majlis ta'lim serta kajian-kajian Islam, namun hal itu tidak berarti menunjukkan bahwa ajaran agama Islam secara substansial juga berkembang. Berkenaan dengan itu semua, ada fenomena menarik yang sedang terjadi pada umat Islam dimana kita sering terjangkiti oleh syndrome dualisme yang membedakan antara ibadah dalam dua aspek diatas. Kita sering menganggap bahwa aspek pertama lebih bernilai ibadah dari pada aspek kedua atau bahkan hanya aspek pertamalah yang layak disebut ibadah. Sehingga kita kadang merasa ogah atau susah untuk menjalankan aspek yang kedua tersebut. Kita akhirnya hanya sekedar beraktivitas dilingkaran masjid atau dalam hal-hal yang berbau agama murni. Siang kita puasa dan malamnya kita bersujud seribu kali. Di sisi lain, kita tidak mau terjun bekerja, berusaha, belajar dan membangun dunia.

Kalau kita mau mencari akarnya, sebenarnya sikap seperti ini adalah hasil dari kesalah pahaman dalam mengartikan ibadah. Pemahaman tentang konsep ibadah pada umumnya masih terpaku pada bentuk-bentuk ritual formal, terikat oleh syarat, rukun, waktu dan ketentuan-ketentuan tertentu. dan ini adalah bias dari pemahaman ibadah yang tidak bisa dilepaskan dari legal-formal fiqih yang menjadi basis dalam beribadah. Ibadah juga hanya diartikan hal yang berhubungan dengan Tuhan langsung. Bahkan kadang lebih parah dengan mengartikannya sebagai "agama" dengan tanda kutip yang berarti hal-hal yang mempunyai hubunagn dengan agama. Padahal arti ibadah sangatlah luas seluas alam-Nya dan agama hanyalah salah satu forum yang menaungi beberapa macam ibadah secara formal. Diluar itu sangatlah banyak ibadah non-formal yang bisa kita lakukan meski tanpa dengan embel-embel agama.

Seperti konsep amal jariyah, shodaqoh dan zakat. kita masih tidak bisa melepaskan diri dari keformalan ibadah ini yang diatur oleh fiqih. pemahaman ibadah kita tentang beberapa contoh diatas adalah bahwa yang namanya shodaqoh atau amal jariyah lainnya dalam bingkai fiqih adalah Sunnah. sedangkan zakat, adalah wajib meski syaratnya adalah jika telah mencapai nishab. dari pemahaman yang formalis ini, kadang menjadikan kita sangat bernafsu untuk bisa melakukan ibadah wajib yang bernama zakat. Sedang ibadah shodaqoh atau amal jariyah lainnya kita abaikan karena hanya berstatus Sunnah. padahal dari sudut lain semua ibadah tadi bertujuan untuk mensucikan harta sekaligus menolong orang lain dari kesulitan finansial. sedangkan menolong orang lain adalah wajib apalagi saat realitas kita saat ini yang serba sulit.

Kemiskinan dan penganguran dimana-mana. banyaknya anak-anak yang putus sekolah, gelandangan dan lainnya yang akhirnya memunculkan berbagai ketimpangan social dan tindak criminal tentunya harus diperhatikan tidak hanya melalui konsep legal-formal saja, tetapi juga harus dipahami secara realistis lewat konsep ibadah yang menyeluruh (syamil). dan untuk mendapatkan konsep ibadah seperti itu, kita harus mengubah pemahaman kita bahwa shodaqoh saat ini adalah lebih wajib dari zakat meski hukum zakat sendiri tidak bisa dirubah menjadi Sunnah. dari sini kita akan menjadi bersemangat untuk membantu orang dan membangun masyarakat meski dalam formalnya shodaqoh juga tetap Sunnah.

Begitu pula dengan masalah pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan non-agama atau pendidikan umum. belajar ilmu agama lebih penting dan lebih utama dari pada belajar ilmu-ilmu umum. sehingga ulama yang ada dalam hadits "sesungguhnya ulama' adalah pewaris para nabi" seakan hanya dipahami sebgai ulama dalam bidang agama, lainnya tidak. Dan ini adalah suatu pemahaman yang kurang benar dan tidak fair yang mengakibatkan adanya jarak yang sangat jauh antara ilmu agama dengan ilmu umum. Kesalahan kita adalah bahwa kita membedakan sedemikian jauh antara pentingnya ilmu agama dan ilmu umum, seakan ilmu umum adalah sesuatu yang kurang bermanfaat karena tujuannya adlah bersifat sementara. Sedang ilmu agama adlah sesuatu yang akan mengantarkan kita kepada kebahagiaan hakiki, yaitu akhirat. Akibatnya, kita tidak mempunyai concern terhadap ilmu umum tersebut. Apalagi semenjak kunci peradaban beralih ke Barat, dimana produk-produk ilmu pengetahuan dan teknologi kemudian terlahir dari para ilmuan non-muslim.

Mungkin bisa ditelusuri bahwa secara psikologis kita sebagai umat Islam masih terpengaruh oleh trauma sejarah akibat penjajahan yang dilakukan oleh orang-orang Barat, dimana dunia Islam selama sekian ratus tahun telah diperas dan dihancurkan oleh mereka dengan menggunakan produk ilmu pengetahuan. Bahkan sampai sekarang apa yang disebut dengan benturan peradaban seakan memang didengungkan untuk menghancurkan Islam. Namun, bagaimanapun keadaannya, seharusnya kita tidak bisa menyalahkan ilmu pengetahuan (umum) itu sendiri dengan tidak lagi memandang ilmu umum sebagai produk kafir, karena seperti yang dikatakan Imam Ali, bahwa Hikmah adalah sesuatu yang hilang dari seorang muslim, siapa yang menemukannya ia berhak mengambilnya.

Dari kenyataan yang ada, kita sangat ketinggalan dengan pihak lain. umat Islam yang dahulu memimpin dalam masalah ilmiah dengan berbagai teori dan penemuan baru, kini sangatlah jauh dari jejak tersebut. bahkan ada kesan cuek dan menolak mentah-mentah terhadap berbagai pandangan baru yang ada dengan hanya mencukupkan diri membaca bacaan-bacaan keagamaann klasik karya ulama terdahulu; dan itupun tanpa mau mengkritisinya. sehingga alih-alih menelorkan teori atau karya yang baru, kita malah terjebak pada pengagungan terhadap karya-karya klasik. kitapun kahirnya mempunyai watak literalis, jumud serta anti perubahan. seharusnya, ketika kita membaca berbagai karya ulama yang ada dan juga Al-qur'an, kita menemukan semangat dari para ulama tersebut, bagaimana mereka berlomba dalam berkarya tidak hanya dalam ilmu-ilmu agama, namun juga dalam bidang social, sains serta ilmu umum lain.

Tentunya kita telah merasa dan menyaksikan bahwa sebagai umat Islam yang mendapat cap khaira ummah dari Allah, kita ternyata sangat lemah dan jauh dari cap tersebut. meski memang kita pernah mencapai kejayaan, dan peradaban kita memimpin dunia, namun saat ini kita hanya bisa berapologi dengan membanggakan masa lalu. sedang kenyataanya sekarang kita tertinggal jauh dengan umat atau bangsa lain. Sementara bangsa lain sudah berlomba dan berinovasi dalam berbagai bidang, kita masih terjerembab dalam soal apakah inovasi (bid'ah) itu boleh atau tidak. sementara bangsa lain sangat jauh dalam pembangunan dan pemberdayaan masyarakat dengan memajukan pendidikan, kesehatan, ekonomi dan kemiliteran, kita masih sibuk bertikai dan berebut klaim kebenaran. kita miskin, tapi tidak mau bekerja. kita bodoh tapi tidak mau belajar. kita juga terlalu egois kalau tidak mau dikatakan fatalis, dengan hanya mengutamakan akhirat sehingga kita di dunia hanya menumpuk ibadah-ibadah yang sifatnya individualistic-formal.

Jadi pemahaman kita akan ibadah sudah seharusnya diganti dengan pemahaman yang lebih luas dan realistic. apapun yang baik bagi diri kita dan orang lain harusnya kita niatkan dan kita pahami sebagai ibadah yang akan mendatangkan pahala dari sisi Allah, meski itu hanya seberat dzarrah. entah itu ibadah berlabel agama ataupun tidak. karena jika pemahaman kita masih seperti yang pertama, berarti kita telah mempersempit arti ibadah itu sendiri yang pada akhirnya kita akan merasa risih jika melakukan suatu ibadah yang tak berlabel agama. Dan inilah hal yang paling buruk yang sedang menimpa kita umat Islam.

apalah arti kita hidup di dunia ini?! Dunia adalah ladang akhirat dan untuk meraihnya kita harus bisa menjadikan dunia ini sebagai tempat ibadah.
wallahu a'lam bis showab.

Other Articles