Apr 14, 2010

T.e.r.o.r.

Oleh: Syafa'atun Aisya


I

“Mbak, duduknya biasa aja..” Seorang petugas datang menghampiri dan menegur saya.

“Ha?! Apa..?” Saya terbengong-bengong tak mengerti.

“Duduk lu tu. Gak boleh cross leg,” kawan duduk di sebelah saya mencoba menjelaskan.

“Duduknya, mbak. Kakinya biasa aja. Dah pake rok, duduknya begitu lagi,” petugas kembali mengingatkan saya.

“Kenapa?” Saya bertanya balik. Kembali tak mengerti.

Apa yang salah? Saya mengenakan rok selutut pagi itu. Dan merasa tak ada yang salah dengan gesture tubuh saya. Saya sengaja berdandan dengan sopan pagi itu. Mengenakan blus putih lengan panjang, rok hitam selutut, bersepatu, dan duduk manis mengikuti jalannya sidang.

Tak boleh silang kaki. Ya, tapi kenapa? Ada aturan untuk tak boleh duduk dengan kaki silang ya? (Atau takut terjadi adegan buka kaki seperti dalam “Basic Insting”? Tapi saya kan pake underwear. Dan rasanya-rasanya tak sejenjang Sharon Stone). Sementara laki-laki di belakang saya mengenakan celana jeans dan duduk bersila. Punggung bersandar santai. Pengunjung lain yang sibuk ribut berkomentar terhadap pernyataan para saksi ahli juga dibiarkan.

Insiden itu langsung mengubah mood saya. Konsentrasi saya buyar. Saya tengah hadir pada acara persidangan uji materi UU PNPS di MK. Omongan Ulil yang tengah menjelaskan kasus Mutsailamah al Kahzab, orang yang mengaku nabi pada masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq mengawang di udara.

Selain Ulil Abshar Abdalla, ada Mudji Sutrisno, Emha Ainun Najib, Mahendradata, dan lain-lain yang tak saya ingat namanya. Mereka dihadirkan sebagai saksi ahli baik dalam posisi yang pro atau kontra terhadap UU ini.

Saya mainkan kamera mengusir kemuraman saya. Mode manual terpasang. ASA 800, speed 1/15. Jepret sana sini. Meski tak ada sudut istimewa. Sementara terus menahan keinginan kaki yang kadang gatal ingin disilangkan.

II


Sidang break untuk Shalat Jum’at. Palu di ketuk. Pekikan “Allahu akbar!” segera menggema.
Saya bergegas turun dari balkon atas. Pengunjung di lantai bawah ramai. Pengunjung dengan atribut jubah dan sorban merangsek masuk ruang sidang. Peserta sidang keluar satu persatu.
Keriuhan terjadi saat peserta sidang yang pro pencabutan UU mencoba keluar ruangan.

“Kafir!”
“Murtad!”
“Bunuh aja. Halal darahnya.”
“Copot aja jilbabnya. Islam apaan tu. Gak pantes!”

Beberapa orang mengacung-acungkan tangan. Petugas keamanan gedung berusaha menenangkan.

“Udah.. Udah.. Sholat jumat..”

“Kalo mereka ma ketahuan gak sholat..”

Teriakan terus bersahutan. Saya berada dalam keriuhan pemuda-pemuda tanggung dengan urat leher yang mengeras. Kata-kata kotor berhamburan dengan mudahnya. Sempat merasa ngeri saya berusaha mencari gambar.

Mereka tampak sadar kamera. Senang dengan beragam alat yang dengan segera merekam aksi mereka. Gambar bergerak atau gambar diam. Keberadaan saya, perempuan dengan rok selutut, rambut tergerai, dan baru saja ditegur petugas dengan posisi duduk yang (dianggap) tak pantas, tampaknya bukan masalah. Mereka senang saya turut ambil bagian merekam aksi mereka.


III

Ulil sibuk menelpon atau ditelpon seseorang.
Aura kecemasan meruap di ruang yang dikhususkan bagi para saksi ahli.

“Pastikan Ulil bisa keluar dengan aman.”
“Lewat belakang aja..”
Beberapa kawan ikut sibuk mengatur strategi.

“Bawa mobil, Mas?”
“Gak. Pake taksi.”
“Lewat belakang aja, Mas. Nanti kita kawal.”
“Ok, Amanda mana?”

Ulil bergegas pergi. Makanan dan minuman yang terhidang tak tersentuh. Makalah dan buku catatannya tertinggal.

“Takut juga Ulil ya?” Saya bertanya naïf.
“Gak punya basis massa sih..” Seorang kawan merespon pertanyaan saya. Guyon.
“Mungkin juga ya,” Saya ikut tertawa.

IV

“Mereka itu serius mau ngebunuh orang ya?” Saya kembali bertanya pada teman seperjalanan saya. Lagi, pertanyaan yang naif.

“Lu gak inget kasus Monas kemarin. Mereka bisa mukulin orang kayak gitu.”

Saya ingat insiden itu. Saat mereka memukuli lawan-lawannya persis seperti maling ayam yang tertangkap basah. Perilaku sadis yang mengingatkan saya pada potongan-potongan gambar peristiwa kerusuhan. Film Rwanda. Beberapa kerusuhan seputaran saya tinggal. Perang antar geng preman karena rebutan jatah. Saat satu kelompok ingin menghabisi kelompok lain. Dengan alat-alat tradisional. Sementara negara lumpuh tak berdaya.

Hidup dalam teror. Bagaimana anda menjalaninya?

Dulu, ancaman bunuh membunuh ini sempat juga mampir ke kotak surat saya. Sudah lama sekali. Saat saya masih aktif mengikuti mailing list yang membahas tentang kebebasan dalam berkeyakinan. Milis itu pun sudah lama tak saya sentuh. Sama seperti nasib keanggotaan saya pada beberapa milis. Mata saya tak punya cukup energi untuk membaca surat-surat yang terus masuk.

Entah dari mana si pengirim mendapatkan alamat surat saya. Saya acuh saja. Menganggapnya sebagai surat nyasar yang tak ada bedanya dengan kiriman surat-surat aneh yang meminta donasi untuk keluarga perang atau saya dinyatakan menang lotre oleh sebuah akun internasional.

Tapi setelah lebih dari sekali surat itu masuk, dengan jelas menyebut nama saya, dan membuat bulu kuduk saya meremang membaca kata-katanya, saya putuskan untuk menutup alamat surat tersebut.

Saya bayangkan hidup menjadi Ulil. Dengan fatwa halal darahnya bagi orang-orang tertentu. Yang bisa tiba-tiba hilang nyawa di tangan orang tak dikenal. Dikeroyok ramai-ramai seperti maling kesiangan. Sementara, layaknya film-film India, aparat keamanan bertindak saat rumah telah hangus terbakar.

Saya ingat Munir. Untuk kasus yang berbeda. Hidupnya akrab dengan ancaman. Matipun dijalaninya dalam terror. Pembunuhnya tetap dibiarkan misteri.

Apa yang bisa diurus dengan benar di negeri ini?

V

“Pengalaman pernah ke Turki, apa bedanya dengan Jakarta?” Seorang teman bertanya.

“Angin di Turki memang sedang berhembus ke kanan. Setau gue gak “senorak” ini lah kelompok kanannya. masih enjoy sama sekularisme (Attaturk ok banget untuk hal ini). Banding di sini? ampun bener deh.. “

Balas saya. Dalam konteks menguatnya gerakan agama dalam negara.
Meski menjawab pertanyaan ini serasa menjawab pertanyaan, bagaimana rasa ketoprak dengan soto ayam?

Anda bisa menemui mesjid dimana-mana di Turki. Dengan arsitektur yang mirip (membuat saya kerap nyasar saat mematok sebuah mesjid sebagai penanda jalan). Istanbul bahkan disebut-sebut sebagai kota seribu mesjid. Tapi tak ada aturan yang mewajibkan anda menghentikan aktifitas saat shalat jumat tiba. Atau kewajiban mengenakan “pakaian takwa”. Malahan, bagi para perempuan, jangan pernah berharap akan disediakan mukena di mesjid untuk shalat.

Beberapa agenda untuk lebih menampilkan citra islami memang mulai didesakkan kelompok kanan. Seperti dibolehkannya jilbab masuk di institusi-institusi formal pemerintahan (meski ada juga peraturan-peraturan aneh yang diberlakukan untuk asrama-asrama putri yang lebih ketat dari pesantren).

Pertarungan politik ini terjadi tingkat pembuat undang-undang. Saya tak melihat kelompok-kelompok masyarakat yang show off gembar-gembor syariat Islam di jalan (jangan sampe kejadian deh. Dan kayaknya gak laku juga di masyarakat. He.. Ngomongin Turki jadi pengen balik.

Tentang hal ini seorang kawan lain memberi gambaran menarik:
“Turki sedang dipengaruhi ikhwanul muslimin, makanya gayanya ngga norak, sama kaya gaya PKS or menti menkomiinfo kita, perlente abis. yang ada di (sini) ini gaya afganistan, dekil, norak dan membabi buta..”

Hm, Afganistan, akankah kita menuju ke sana?

diambil dari situs IslamLib

No comments:

Post a Comment

Other Articles