May 17, 2010

Beragama: Apa Harus Satu?

Di sebuah milist, ada sebuah postingan menarik tentang bagian paling mendasar dalam keberagamaan kita. Meski sebenarnya isi postingan ini lebih cenderung seperti curhat, namun saya tertarik dengan beberapa pertanyaan yang diajukan oleh teman pemosting tersebut.

Pertama sekali adalah apakah dalam beragama diwajibkan untuk memilih satu agama saja ataukah boleh memilih beberapa bahkan semua dari sekian banyak agama ataupun kepercayaan yang ada?!!

Dalam realitas kehidupan, memang tidak bisa dipungkiri bahwa banyak sekali sesuatu yang bisa kita sebut sebagai ‘agama’ ataupun ‘kepercayaan’. Secara logika dari sudut pandangnya tertentu memang tidak bisa dibatasi apakah seseorang akan memilih satu agama/kepercayaan untuk dirinya sendiri atau lebih, atau bahkan tidak beragama sama sekali. Berarti itu adalah hak perogratif kita sebagai mahluk bebas. Namun, sebagai mahluk yang berakal, kita juga dituntut untuk kritis dalam pilihan kita itu karena hal tersebut tentunya mengandung implikasi yang menyeluruh dalam kehidupan kita nantinya.

Saya sendiri, walaupun sampai saat ini hanya mengimani satu agama saja, namun saya tidak mau memaksakan sikap saya ini kepada yang lain, karena beragama tidak bisa dipaksa. Beragama atau tidak adalah pilihan nurani kita semua. Bahkan Tuhan-pun –dalam keimanan saya- tidak pernah memaksa seseorang untuk mempercayainya. Dia membiarkan kita untuk menentukannya sendiri. Sehingga wajib atau tidaknya memilih satu agama juga relative, tergantung kita sendiri. Mengapa demikian?? Karena mungkin Ini disebabkan oleh watak dari agama atau kepercayaan itu sendiri yang lebih bersifat sebagai ‘perasaan personal’ (personal senses) dalam mengimani sesuatu yang transendal. Dan kerelatifitasan ini adalah sangat wajar sekali ketika kita melihat dan membandingkan agama atau kepercayaan satu sama lain dalam frame humanisme, meskipun di sana sini akan tetap ada perbedaan kadar.

Namun berbeda dengan yang pertama tadi, ketika kita menarik agama-agama ke dalam lingkaran teologis yang berhubungan dengan doktrin-doktrin suci dan menjadi basis keimanan masing-masing agama, maka bisa dipastikan kita akan menemukan perbedaan itu lebih mencolok dan vulgar. Dan di wilayah inilah logika harus benar-benar kritis dalam mencari kebenaran. Apalagi perbedaan-perbedaan tersebut bukan hanya sebatas perbedaan pembawa agama (nabi dan rosul) atau aturan-aturan keagamaan (syari’ah) tapi lebih kepada adanya perbedaan tentang dari mana agama tersebut berasal atau lebih tepatnya ‘perbedaan tentang Tuhan’. Sehingga mau tidak mau kita harus memberi sikap khusus dengan memilih satu agama saja. Tidak mungkin kita sholat untuk yesus atau kebaktian di gereja dengan membaca kitab Wedha kan?!

Dalam setiap agama mempunyai system ritual yang berbeda. Begitu juga dengan doktrin-doktrin keagamaannya. Ini adalah hak paten dari setiap agama yang menjadi cirri formal serta kode etik yang tidak bisa ditukar satu sama lain. Artinya dengan melihat sisi formal tersebut kita sudah tidak bisa untuk bebas memilih lebih dari satu agama meskipun kita memberontak menginginkannya. Kode etik tersebut tidak memperbolehkan kita untuk mencampur-adukkan agama-agama. Sehingga dalam beragama kita diwajibkan untuk konsisten dengan satu agama atau murtad ke agama lain. Lalu apa intinya, wajib atau tidak?!

Di sini saya tidak mengatakan memilih satu agama itu wajib apa tidak, tapi saya hanya mengajak nalar dan kesadaran kita untuk merenung sebentar tentang watak-watak agama di atas. Ketika kita telah mengetahui bahwa di sana memang dengan pasti ada perbedaan-perbedaan yang mana itu tidak bisa diabaikan begitu saja -kalau tidak bisa dikatakan ‘tidak bisa disamakan’- maka logis juga jika kita memperhatikan perbedaan tersebut sehingga logika akan menemukan kebenaran dari sudut pandang lain dan tidak akan terjatuh pada kesalahan akibat mempercayai kebenaran semu.

Mungkin saya terlihat cenderung eksklusif seolah mencoba memenangkan sebuah truth claim dalam membahas sikap keberagamaan kita. Namun itu tidak mengapa bagi saya, karena secara logika, beragama memang bukan seperti permainan undian acak. Maksud saya adalah saya berharap dengan menitik beratkan pada perbedaan mendasar dari berbagai agama tadi, saya kira kita akan bisa lebih bijak dalam menjawab pertanyaan pertama tadi dan dengan kesadaran penuh kita bisa menjawabnya sendiri dengan nurani kita.

Jadi, setelah memperhatikan perbedaan tadi, saya menjawab bahwa secara formal-teologis, logika juga mewajibkan kita untuk sebisa mungkin memilih salah satu dari sekian banyak agama atau kepercayaan dengan alasan perbedaan system ritual dan persepsi tentang Tuhan yang tidak sama. Namun demikian secara substansial-humanis kita juga bisa mencampurkan (baca: menyerap) persamaan dari berbagai agama tersebut tentunya dalam aspek kemanusiaannya. Dan di sinilah mungkin letak dari apa yang disebut ‘kebenaran agama-agama’ untuk kita amini bersama.

Lalu agama mana yang harus kita pilih?? hemmm…. Sebelum kita memilih agama ‘yang mana’, sebaiknya kita tanya dulu ‘mengapa harus beragama?!!’

No comments:

Post a Comment

Other Articles