Feb 19, 2010

Sikap Bijak Terhadap Realitas

Sebuah sikap bijak memang harus menjadi watak dasar bagi sebuah agama yang mengklaim sebagai sholih li kulli zaman wa makan jika tidak ingin agama itu menjadi sebuah agama yang local dan basi lantaran tidak bisa menjawab tantangan zaman. Sebagai sebuah agama yang mempunyai klaim seperti itu, umat Islam sebagai pemeluknya seyogyanya tidak menutup diri dari dunia luarnya dengan hanya mengandalkan doktrin-doktrin lama yang sebenarnya kebanyakan hanyalah hasil ijtihad dan pemikiran para ulama dalam menjawab persoalan masanya. Umat Islam seharusnya bisa lebih responsible terhadap relitas ataupun masalah yang semakin kompleks dan saling berkaitan satu sama lain dengan cara menempatkan suatu masalah tersebut secara proporsional.

Suatu masalah harus dijadikan sebagai suatu realitas yang memerlukan penjelasan dan jalan keluar yang cerdas. Realitas tidak bisa dihapus begitu saja dengan sebuah pendapat, fatwa, maupun nash keagamaan tanpa lebih dulu diselidiki latar belakang dan perubahan-perubahan yang melingkupi tealitas tersebut. Misalnya saja valentine yang kita nyatakan sebagai suatu bid'ah sesat, pendekonstruksian akidah, demoralisasi dan pembebekan terhadap Barat (Kristen).  

Dalam hal ini, saya menjumpai satu ulasan khusus tentang valentine yang ditulis oleh Saudara M. Risal yang sempat juga dipublish di salah satu edisi Buletin SAHARA, KKMI-Libya. Ia mengutip dari Swaramuslim bahwa awal mula dari peringatan valentine ini adalah dalam rangka mengenang jasa Pendeta St.Valentine, yang dihukum mati oleh pemerintah Romawi yang dipimpin Raja Claudius II pada tanggal 14 Februari 276 M. Hukuman ini dijatuhkan karena pendeta ini menentang qonun (undang-undang) kerajaan yang melarang pernikahan. Saat itu, raja menganggap bahwa para bujangan lebih tabah dan kuat dalam berperang dari pada mereka yang mempunyai istri. oleh sebab itu Raja melarang pernikahan. Pendeta St.Valentine ini tidak setuju dan malah sering menjadi "penghulu" bagi muda-mudi yang melangsungkan pernikahan.(salam dan info swaramuslim.net, Februari 2005).

Setelah mengetahui latar belakang dan maksud dari hari valentine tersebut, ia mencoba membandingkannya dengan realitas lain semisal hari raya Natal, Appril Mop, hari pahlawan, atau hari kemerdekaan dan sebagainya, serta tidak lupa mensinkronkannya dengan nilai-nilai Islam. Dan sebagai hasilnya adalah tidak adanya yang namanya dekonstruksi akidah, ataupun pembebekan kepada Barat (Kristen). Tapi yang penting adalah ‘cara’ dalam menyikapi dan menggunakan hari valentine tersebut.

Disini, saudara risal mencoba membahas atau setidaknya menengok kembali melalui sudut pandang lain. Tentunya dengan mengikutkan berbagai realitas sebagai acuan. Ia mencari sejarah dan substansinya untuk kemudian diperbandingkan dengan ajaran Islam. Adakah titik temu yang bisa diambil dengan lebih dulu memaparkan segi-segi negative maupun positifnya. Dari sini dipetakan konklusi permasalahan tanpa harus jatuh kepada penolakan mutlak maupun penerimaan yang kebablasan. Jadi penolakan tidak hanya berdasar "ini dari luar Islam" yang berarti ghairu Islamy dan tidak pula penerimaan mutlak yang berarti sebagai taqlid buta atau pembebekan.

Dalam berbagai kasus lainnya pun sebenarnya pola pikir dan sikap bijak seperti ini bisa diterapkan. Tidak hanya terbatas pada fenomena valentine saja. Wacana-wacana social-keagamaan yang lain yang telah menjadi realitas dalam kehidupan juga memerlukan penanganan yang cerdas pula. Demokrasi, civil society, HAM, sekulerisme, gender, pornografi, hingga fenomena kelompok-kelompok sempalan yang menjamur juga harus mendapat perhatian dan penanganan tidak hanya dari satu dudut pandang saja. Permasalahan-permasalahn tersebut harus didudukkan sebagai realitas, dicari latar belakangnya berikut factor-faktor yang mempengaruhinya. Kalaupun dikaitkan dengan Islam dan dicarikan solusi darinya, maka Islam juga harus didudukkan sebagai suatu realitas yang hidup yang selalu berdialog dengan zaman dan realitas lainnya.

Sekulerisme misalnya. Kita tidak bisa memandangnya dari satu sisi teologis saja lalu menghukuminya secara egois-sepihak. Sekulerisme memang lahir di lingkungan Barat-Kristen sebagai respon terhadap hegemoni pihak gereja dan absolutisme-nya atas masyarakat. Disamping pula karena kegagalan agama (gereja) dalam merespon problem-problem social masyarakat (Gamal Al-Bana, Al-Islam, wal hurriyah, wal Ilmaniyah: Tanpa Tahun). Dan ketika para pemikir independent menyerukan sekulerisme sebagai solusi dan beberapa diantaranya menjustifikasinya dengan ayat Bible, maka tidak bisa dinafikan pula solusi tersebut juga merupakan hasil dari penafsiran social atas realitas. Sehingga sekulerisme bukan hanya sebagai produk Barat-Kristen, tapi juga merupakan hasil pemikiran manusia lintas batas yang memungkinkan menjadi sebuah solusi bagi permasalahan yang sama yang dihadapi oleh masyarakat non-Barat-Kristen, termasuk umat Islam.

Namun ketika kita mencoba mengambil produk tersebut, kita tidak boleh menerima apa adanya tanpa terlebih dulu kita kritisi dan kita selaraskan dengan ajaran Islam dan realitas kita sendiri. Sehingga dengan ini kita tidak akan terjatuh pada westernisme ataupun sekulerisme ekstrim seperti kasus Turki karena sekulerisme jenis tersebut bertentangan dengan agama bahkan mematikannya. Istilah kasarnya kita harus mereduksi konsep sekulerisme itu sendiri dan menciptakan pemahaman baru yang sesuai dengan konteks kita. Mungkin inilah yang dicoba oleh Munawir Syadzali dengan menyodorkan istilah dan konsep ”proporsionalisme” atau juga ”obyektifisme” oleh Kuntowijoyo (Adian Husaini, Sekulerisme Penumpang Gelap Reformasi: 2000). Namun, jika sendainya sekulerisme telah dipahamai hanya sebagai pembatasan terhadap "absolutisme penguasa" atas nama agama, maka tidak ada salahnya kalau hal itu diadopsi sebagai solusi alternative atas realitas. Bukankah sejarah Islam juga mencatat adanya absolutisme atas nama agama yang telah meminta banyak korban?!

Dalam masalah jurisprudensi Islam (fiqih) juga seharusnya begitu. Fiqih yang berarti "pemahaman" terhadap ajaran Islam tidak semestinya dijadikan barang mati yang bebas nilai dan tidak boleh dikritisi kembali. Tapi sebaliknya fiqih harus selalu direfresh dan diaktualisasikan dalam menjawab tantangan zaman. Realitas harus diikut sertakan sebagai titik tolak dan acuan hokum disamping nash-nash keagamaan primer. Fiqih tidak bisa dilepaskan dari realitas. Oleh karenanya, paradigma fiqih harus diubah dari paradigma "kebenaran ortodoksi" menjadi "pemaknaan social" (Nuansa Fiqih Sosial: 1994) yang tidak memandang realitas secara hitam-putih. jadi fiqih bukanlah pemahaman dalam rangka menundukkan realitas kepada kebenaran fiqih itu sendiri beserta teori-teori formalnya, namun sebuah pemahaman bagaimana menggunakan fiqih sebagai "counter discourse" dalam pemaknaan realitas yang sedang berlangsung. dan inilah yang dilakukan Imam syafi'I ketika berpindah dari Baghdad ke Mesir, ia merekonstruksi pandangannya yang lama dalam Qoul Qadim dan menyusun pandangan baru yang disebut sebagai Qoul Jadid (Abdul Ghani Ad Daqr, al-Imam asy-Syafei: Faqih as-Sunnah al-Akbar: 1996). Disini ia telah merumuskan pandangannya kembali karena ia menemui realitas baru yang sama sekali berbeda dengan realitas dimana ia menyusun Qoul Qadim-nya dahulu. Adanya pengalaman dan unsure-unsur baru yang tidak ditemukan dalam masyarakatnya yang lama turut pula memotivasi Imam Syafi'i dalam penyusunan Qoul Jadid-nya.

Memang banyak ulama sendiri yang cenderung menutup diri dari realitas kontemporernya seraya hanya bergantung pada hasil ijtihad ulama salaf. Hal ini mereka lakukan dengan asumsi bahwa La Ijtihad Fi an-Nash al-Qath'I dan anggapan seakan fikih telah selesai dan telah lengkap. padahal pernyataan ini juga merupakan hasil pemikiran-ijtihadi terhadap nash, bukan pernyataan nash itu sendiri. Bahkan sebenarnya para ulama sendiri berselisih paham apakah nash qoth'I tidak boleh diijtihadi secara mutlak atau bisa meski dalam batas-batas tertentu.

Menurut Muhammad Imarah dalam bukunya Islam wal Mustaqbal, nash qoth'I juga mempunyai ruang-ruang yang memungkinkan untuk ijtihad. Ia memberikan konsep Wilayah as-Tsubut wa al-Mutaghayyirat dimana wilayah as-tsubut adalah wilayah yang tidak bisa diutak-atik lagi. Sedang sebaliknya, wilayah al-mutaghayyirat merupakan arena yang bisa di ijtihadi. Wilayah as-tsubut adalah yang berkenaan dengan aqidah prinsip, ibadah dan hal-hal yang berkaitan dengan ke-ghaib-an yang ada dalil qoth'inya dimana akal tidak bisa memasukinya. Kemudian wilayah al-mutaghayyirat adalah wilayah diluar hal-hal diatas. Termasuk hal-hal kemasyarakatan yang berhubungan dengan kemashlahatan manusia didunia serta hal-hal yang bisa dinalar oleh akal, meskipun telah ada dalil qoth'inya.

Suatu produk hokum ketika dipandang sudah tidak relevan lagi dengan maqashid syari'ah yang ditetapkan Islam, maka seyogjanya diijtihadi kembali dan disesuaikan dengan realitas kekinian. Hal ini bukan berarti merubah inti hokum yang dikhawatirkan akan merubah Islam itu sendiri. Namun, kita berusaha menyelaraskan hokum tersebut sesuai realitas yang melingkupinya, sehingga problem yang ada bisa dipecahkan. Dalam hal ini, menarik sekali perdebatan yang masih tetap berlangsung tentang masalah poligami. Beberapa ulama menyandarkan kebolehannya berpoligami berdasarkan ayat-ayat Al-qur'an. Bahkan dengan gigih mengatakan: jika ada yang menggugatnya, berarti ia menentang Al-qur'an yang selanjutnya berarti menentang Allah. Padahal kalau kita mau mengamati pendapat yang mencoba menggugat hokum tersebut, kita akan menemukan bahwa pendapat mereka juga tidak asal-asalan saja dan tidak pula berarti menentang Al-qur'an ataupun merubah Islam. Mereka hanya memandang dari sisi lain atas ayat-ayat Al-Qur'an serta relitas poligami yang terkesan cenderung destruktif. Sehingga ketika realitas poligami menunjukkan dampak yang seperti itu, maka wajar jika mereka mencoba untuk mencari solusi yang pas. yaitu dengan merekonstruksi kembali pemahaman akan poligami (Lih. Cahyadi Takariawan, Bahagiakan Diri Dengan Satu Istri: 2007).

Oleh karenanya, terlepas dari berbagai perdebatan dan perbedaan pendapat, seharusnya dengan semangat fiqih yang hidup, para ulama bisa menjadikan fiqih sebagai alat yang solutif dalam menjawab problematika zaman yang terus berkembang dan kompleks ini. Tidak hanya bersandar pada pendapat-pendapat lama yang kadang sudah expired masa berlakunya tapi juga berusaha berijtihad dan berinovasi agar Islam tetap sholih li kulli zaman wa makan. Dan disinilah urgensi sikap bijak dalam memandang suatu masalah ataupun realitas.

Wallahu a'lam bis showab.

No comments:

Post a Comment

Other Articles