Jul 13, 2010

Naqd al-Khitab ad-Dini dan KKMI

Mungkin ini terlalu mendramatisir ketika saya berbicara tentang apa yang terjadi di KKMI lalu membandingkannya dengan peristiwa yang disebut dengan “qadliyah Abi Zaid” (isu Abu Zaid).

Seperti yang diketahui bersama, Nasr Hamid Abu Zaid, seorang pemikir asal Mesir, divonis “kafir” oleh mahkamah Mesir setelah dicabut gelar doktornya oleh para ulama Azhar. Ia diperlakukan seperti itu karena pemikiran dan wacana yang diajukannya untuk mendapatkan gelar doktoralnya ditolak lantaran berbeda dengan yang dianut oleh para ulama dan dianggap bertentangan dengan agama. Dengan title kafir yang disandangnya tersebut, akhirnya ia bersama istrinya kemudian menuju Belanda karena tentu dengan kondisi yang penuh intimidasi di Mesir akan membuat hidupnya penuh resiko.

Dalam bukunya “Naqd al Khitab ad Dini” (Kritik Wacana Agama) cetakan kedua, 1994 disertakan juga sebuah lampiran tentang “qadliyah Abi Zaid” ini. Disitu dijelaskan beberapa tuduhan yang dijadikan rujukan oleh ulama dalam vonis yang dijatuhkan kepada Abu Zaid, diantaranya adalah:

1. Abu Zaid menentang nash-nash Alqur’an dan Sunnah serta mengajak untuk menentangnya.
2. Menyerang para sahabat dengan memberikan sifat-sifat yang tidak layak bagi mereka.
3. Menyerang Alqur’an dengan pengingkarannya bahwa ia bukan berasal dari Tuhan.
4. Pembelaannya terhadap marxisme dan sekularisme.

Dari pembelaan terhadap tuduhan ini, Abu Zaid tentu menolaknya; bahkan dijelaskan bahwa apa yang dipahami oleh para ulama tentang pemikirannya tidaklah sama dengan apa yang dimaksudnya. Saya tidak akan mengulas tentang hal ini karena bukan tempatnya, hanya saja saya ingin menggaris bawahi sikap yang diambil oleh para pemvonis serta bagaimana cara mereka dalam memenangkan masalah ini untuk dibandingkan dengan isu lain.

Para ulama yang berseberangan dengan pemikiran Abu zaid saat itu adalah para pemegang otoritas Akademis yang tentunya juga mempunyai kekuasaan untuk memenangkan pemikiran yang dianutnya, dalam hal ini adalah pemikiran keagamaan. Dengan kekuasaan ini pemegang otoritas tentu akan lebih berkuasa untuk mnyingkirkan berbagai hal yang mencoba menggeser kedudukan mereka. Otoritas tentu adalah jalan yang tepat untuk itu. Maka dengan menekan berbagai pihak terkait akhirnya pemegang otoritas bisa mengendalikan arus yang berkembang di bawahnya. Itulah yang terjadi pada isu Abu Zaid.
Nah sekarang kita menuju ke obyek lain yang tak kalah serunya dengan isu tadi. Sebuah komunitas yang berisi para mahasiswa dengan latar belakang dan kecenderungan berbeda.

Adalah KKMI (Kesatuan Keluarga Mahasiswa Indonesia), merupakan sebuah organisasi yang menaungi seluruh mahasiswa Indonesia di Libya. Organisasi ini didirikan tahun 1997 dengan komposisi latar belakang dan kecenderungan anggota yang berbeda-beda. Meski bervisi dan bermisi satu namun dengan adanya perbedaan tersebut tak pelak lagi telah terjadi berbagai pergesekan dalam tubuhnya. Apalagi ketika melihat dari beberapa waktu terakhir ini, maka perbedaan tersebut semakin mencolok tidak hanya dalam emosi, pemikiran saja namun sudah berkembang ke dalam tindakan nyata.

Sebagai bagian dari pengurus yang ikut berkecimpung secara structural dalam organisasi, ada satu hal yang menarik dan sedikit menggelitik hati dari teman-teman dalam menyikapi sebuah perbedaan. Mungkin dalam masalah politik atau katakanlah perebutan “kekuasaan” praktis, saya rasa itu biasa dan memang tidak pernah menarik bagi saya. Itu saya serahkan pada mereka yang berkepentingan saja. Hanya saja, ada satu hal dimana perbedaan tadi sudah mengarah pada pertarungan pemikiran yang bisa saya simpulkan mulai berujung pada truth claim. Dan tentu ini adalah suatu yang sangat berat ketika sudah nampak dalam sikap dan tindakan nyata karena sisi negative dari masalah ini menyeret keyakinan dengan mengobral vonis dan sikap kasar sesame anggota.

Dalam dunia jurnalistik KKMI pernah terjadi ketegangan akibat sebuah tulisan yang dimuat dalam media resmi organisasi. Tulisan ini menyinggung pihak tertentu dimana tulisan tersebut hamper secara gamblang menyerang pribadi person karena tingkah lakunya yang tidak sesuai dengan penulis. Tujuan si penulis ini adalah sebuah kritik dan tanpa mengarah ke klaim kebenaran dalam pemahaman keagamaan. hanya saja ia terlalu vulgar menunjuk seseorang sehingga menyulut ketersinggungan person tadi.

Berbeda dengan kasus ini, pernah juga terjadi pergesekan akibat satu tulisan teman yang isinya sedikit controversial. Penulis disini melontarkan wacana berisi kritik terhadap pemahaman keagamaan tertentu yang ada di masyarakat. Tulisannya tersebut ditujukan untuk umum tanpa ada kaitannya dengan pribadi person tertentu. ia mengkritik dengan menghadirkan wacana keagamaan yang berbeda dengan sebelumnya dan dimuat di media orgamisasi.

saya menyadari bahwa suatu wacana baru apalagi berkaitan dengan pemahaman keagamaan, biasanya akan mendapat perhatian khusus dari publik. tapi apakah hak seseorang untuk melarang perbedaan? dan KKMI, apakah jika ada anggota yang mempunyai pemikiran berbeda harus ditahan hak-haknya?

Disinilah yang menarik untuk saya catat, bahwa di KKMI, perbedaan pemahaman keagamaan ternyata sudah mulai muncul ke permukaan dengan menyeret pemahaman tersebut disertai dengan penggunaan kekuasaan. Kalau boleh saya kasih contoh penyikapan perbedaan ini mulai kentara dengan sikap yang terlihat kasar seperti kritik intelektual disertai menyudutkan pribadi tertentu secara berlebihan dan memaksa otoritas untuk membredel karya-karya tertentu dari anggota. Ini sangat lucu dan tidak masuk akal yang akan menjadikan KKMI eksklusif hanya dimiliki oleh pihak-pihak tertentu. Kkenyataan inilah yang mengingatkan saya pada isu Abu Zaid di atas.

Bagi yang sudah berkenalan dengan dunia pemikiran Islam kontemporer, berbagai perbedaan pemahaman keagamaan telah mengharuskan pengelompokan-pengelompokan baru dalam tubuh agama ini. Begitu pula dalam KKMI, perbedaan yang ada ternyata juga sudah bermetamorfosa menjadi kelompok tertentu –yang mungkin bisa saya sebut dengan ortodoks, moderat dan liberal. Semuanya sudah bisa dideteksi keberadaannya dan saling adu wacana masing-masing.

menyikapi adanya perbedaan serta kelompok-kelompok ini, Perlu saya tekankan bahwa saya tidak mempermasalahkannya. Saya kira perbedaan tidak usah dibesar-besarkan apalagi sampai saling memberi cap buruk satu sama lain, ini akan menyulut perpecahan secara nyata dan keras. Sebenarnya perbedaan adalah hal yang wajar dan tidak perlu ditakuti atau hindari. Berbagai warna-warni dalam KKMI terutama dalam ruang lingkup akademisi intelektual menurut saya bisa merangsang adanya pengembangan pemikiran untuk menjadi lebih matang. Karenanya, persaingan antar kelompok dan pemikiran tidak boleh sampai mempengaruhi otoritas KKMI untuk berbuat tidak adil terhadap anggotanya dengan mengebiri hak-haknya.

Tapi kenyataanya mungkin sedikit lain. Adu wacana ternyata sudah mencapai tingkat usaha melibatkan otoritas kekuasaan. Saya takut ketika terjadi penggunaan otoritas kekuasaan dalam bersaing akan membawa pada ketidak adilan terhadap pihak-pihak tertentu. Mungkin nasib yang kalah tidak akan jauh berbeda dengan Abu Zaid. Hak-haknya dihapus sehingga ia merasa dikhianati oleh pihak berkuasa. Dari sini loyalitas anggota akan berkurang akibat ketidak adilan ini.

Lalu apa yang harus dilakukan KKMI dan anggota menyikapi perbedaan?

Bertolak dari sejarah dan tujuan KKMI didirikan, maka organisasi yang berisi kemajemukan ini hendaknya tetap menghormati dan bersikap adil terhadap berbagai perbedaan dengan mengayomi semua unsur tanpa pandang bulu. Organisasi ini harus netral dan berdiri di atas semua kelompok. Para pengurus yang mempunyai otoritas juga sepatutnya tidak memakai kekuasaannya dengan cenderung memihak pada pihak tertentu, jangan pula sampai menjadi tukang vonis dan tukang bredel; karena sepeti rumah yang terdiri dari berbagai material dan bagian, ia akan roboh jika salah satu bagiannya hancur.

Point terakhir semoga KKMI yang akan melangsungkan hajatan regenerasi pengurus, bisa lebih bijak dan maju. Selamat bersaing dengan sehat !!

No comments:

Post a Comment

Other Articles